Kamis, 26 Februari 2009

cerpen

Ada tahun-tahun yang mengubah diri menjadi tangga
Setiap kali kita melangkah, setiap kali ia tengadah

— Sajak Raka'at, Kurnia Effendi, 2001

CHAPTER 1:
SEPANJANG BRAGA
Aku tidak tahu apakah harus menyesal atau tidak. Tapi nyatanya, dibutuhkan waktu sepuluh tahun dan seratus buah lukisan untuk akhirnya membuat aku sadar.
"Anda suka?" Pengunjung di sebelahku mengawasiku.
"Aku? Ah... ya!" Suaraku baur, ada keraguan dan keterkejutan. Kupikir, terlalu lama aku terpaku.
"Lukisan ini memang bagus!" Nadanya menyerupai gumaman.
Aku mengangguk tercekat. Lantas kurasakan langit dalam lukisan membagi tempias hujan, mengiris dingin. Gigil menyergap.
"Pakailah jaket!" Kudengar suaramu dari masa lalu.
"Aku nggak dingin kok!" Tapi kukenakan juga jaket biru milikmu. Kamu membantu memasangkan topi.
Dan kemudian, di bawah gerimis yang menusuk, kita susuri Jalan Braga.
Ya, seperti juga mungkin harapanmu, bagiku, peristiwa itu perjalanan mimpi. Ratusan almanak berguguran, dan sepanjang musim aku hanya bisa menyebut namamu dengan sejumlah ragu.
"Kamu mengenalnya?" Dhani, sahabatku di SMA sempat menatapku tak percaya ketika aku sedikit bisa bercerita tentangmu. Sebagai pengagum berat karya-karyamu, ini 'kejutan besar' bagi dia.
Dan aku mengangguk, ragu. Bukankah kamu selalu menyebutku 'Adik Manis'?
"Ia... ia kakak yang baik!"
Sangat baik, kupikir. Aku tidak bisa melupakan saat Pak Pos tiba pagi-pagi di depan pintu. Ia mengantarkan bingkisan besar. Sebuah lukisan berjudul 'Prosa Perjalanan'. Di sudutnya, ada kartu kecil bertuliskan:
"Selamat ulangtahun, Adik Manis/Panjang usia, bahagia, pintar, dan bijaksana/Kado ini hanya bayang-bayang/Bandung, Juli 1988." Lantas, ada tanda tanganmu, ada stempel KKN-Unpad 1988 di baliknya.
Aku bahagia benar menerimanya. Antara percaya dan ragu, inilah kenyataan itu. Kamu, pelukis muda yang diperhitungkan di negeri ini, melukis khusus di tengah kesibukan KKN, hanya untuk menandai ulangtahunku. Ini kado istimewa menurutku, tapi anggapan itu kukubur rapat-rapat di batin.
"Ia kakak yang baik," berulang-ulang aku harus meyakinkan Dhani.
Berkali-kali, ia tampak demikian ingin mendengar aku bercerita banyak tentangmu. Ia cemburu. Aku — sahabatnya, yang tidak lebih baik dan cantik dibanding dia, mendapatkan kado khusus dari seorang pelukis ternama. Aku pikir, aku bukan pengidap megalomania. Maka selalu saja kuendapkan sensasi dalam-dalam. Aku berjanji untuk tidak membagi pengalaman batinku pada Dhani, juga pada siapa pun.
Aku punya alasan untuk tidak sekadar memancing cemburu Dhani. Di SMA kami, mendapatkan tanda tangan seorang artis penyanyi saja, bangganya bukan main. Aku hanya malu membayangkannya. Malu pada diri sendiri. Bayangkan, aku tidak mengenal kamu, selain melalui; foto dan berlembar-lembar surat. Waktu itu, seperti juga Dhani, aku mengagumi beberapa lukisanmu yang kutemui pada sebuah pameran di Jakarta. Lantas, sepulang ke Makassar setelah liburan sekolah itu, kukirim surat ke alamatmu. Disertai lukisan sederhana. Aku merasa sedikit bisa melukis — dan kini menyatakan niat besar untuk belajar banyak padamu.
Tak dinyana, engkau membalas dengan surat panjang. Benar-benar panjang, ada mungkin semeter. Meskipun lebar kertasnya tak lebih dari sepuluh senti. Aku pegal membacanya, tapi juga merasakan sensasi luar biasa. Kamu memuja-muja lukisanku — menyebutnya mirip goresan Vassily Kandinsky.
"Kamu sungguh berbakat, Adik Manis!" tulismu.
Dan, dadaku serasa pecah.

CHAPTER 2:
LUKISAN CINTA KITA
Ketika aku menginjak bangku kuliah, kutemukan hubungan kita dalam bentuknya yang paling manis. Tiba-tiba saja aku merasa bahwa tidak ada gunanya pacaran. Buat apa? Aku memiliki seorang kakak yang sangat baik, yang memperhatikanku sedemikian rupa. Yang surat-suratnya menenteramkan. Yang mengirimi aku doa seperti sarapan pagi.
"Jangan sakit, ya! Jangan bikin Mas khawatir. Salam sayang dari jauh." Kamu selalu mengakhiri surat dari Bandung dengan kalimat yang kurang lebih sama.
Aku merasa tidak harus membayangkanmu terus-menerus. Berkali-kali aku disergap rasa malu bercampur ragu. Berkali-kali aku merasakan sensasi setiap usai membaca suratmu. Ini tidak adil. Aku telah meletakkan bayanganmu dengan hati-hati pada pojok hati terdalam. Seolah-olah engkau demikian dekat dan istimewa. Padahal bisa saja surat demikian berbeda dengan kenyataannya. Kamu pelukis terkenal, aku hanya seorang gadis kecil yang kebetulan menyukai lukisan — mungkin salah satu dari sekian penggemarmu. Apalagi menurut Dhani, seniman pada umumnya romantis — Dhani selalu mimpi memiliki pacar seorang seniman.
Karenanya, pada liburan kuliah, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak terbang ke Bandung. Dan di sinilah kita, di bawah ruas hujan yang tajam mengilat, di sepanjang Braga.
"Entah kenapa, Braga senantiasa menjadi obsesiku. Setiap menyusuri Braga, aku selalu merasakan suatu ekstasi, menemukan dorongan kuat untuk terus melukis," katamu.
Barangkali Braga memang punya magis buat kita. Kamu dan aku betah menghabiskan hampir seluruh siang dan malam di Braga. Menikmati sekoteng, mendengarkan Braga Stone, mencermati sejumlah kerajinan tangan, mencuri baca di toko buku, menongkrongi kakilima, dan terus menyusur ke ujung: Gedung Konferensi Asia-Afrika....
Lalu balik lagi, dan berhenti. Karena gerimis menjelma hujan lebat. Kabut mengental menutup sebagian langit Bandung. Lampu-lampu berpendar lesi. Ini malam terakhir, dan aku harus pulang ke Makassar pagi-pagi esok. Saat itulah, kamu merangkulku untuk membagi hangat, dan sebagai tanda perpisahan... mencium pipiku di depan toko souvenir yang telah tutup....
Kala itu, dan kini, kurasakan hawa panas menjalari wajahku. Selama sembilanbelas tahun usiaku, itulah kali pertama aku merasakan dicium oleh seorang lelaki. Batinku ribut. Sementara seluruh ubin yang kuinjak telah menjelma menjadi gurun salju. Peristiwa itu sepuluh tahun lalu. Tapi tidak pernah lamur. Ia abadi dalam kanvas. Lukisan Sepanjang Braga inilah yang menjadi tema pameran tunggalmu kali ini. Lukisan yang menggambarkan suasana Braga di bawah guyuran hujan lebat, ketika seluruh cahaya menjadi pias, dan sunyi demikian meraja. Lukisan yang mengabadikan peristiwa itu: seorang lelaki merunduk mencium....
CHAPTER 3:
ADIK MANIS!
Aku membuang pandang dengan batin gelagapan, mencari-cari lelaki yang tadi ikut mengagumi lukisan adikaryamu itu. Ia telah menghilang. Susah payah, aku beringsut, menjauhi gambar yang nyaris menyulapku menjadi arca....
"Mengapa masih juga sendiri?" Pada langkah berikutnya, suaramu dari masa lampau kembali mengiang.
Kutelan ludah ketika kurasakan sebuah pusaran besar kembali menyeretku ke tengah. Lukisan berikutnya berjudul 'Kayu Bengkoang'. Sebuah tenda kakilima yang menyajikan seafood di pesisir Losari, Makassar. Ada dinding toko yang menjulang di kiri-kanannya. Meja-meja diletakkan memanjang. Pada salah satu bangku belakang kita pernah mengobrol berdua, mengais-ngais kenangan yang tersisa dari Braga.
Jauh di belakang hari, saat usiaku nyaris duapuluh, Arie — teman kuliahku sering menyangsikan, "Belum pernah pacaran?" Matanya meledek.
Aku harus bilang apa? Kenyataanya, aku memang belum bisa mengidentifikasi seperti apa sebetulnya mencintai itu. Sampai suatu ketika seorang laki-laki jangkung tiba-tiba berdiri di depan pintu ruang tamu. Ia teman kakakku. Ia juga menyapaku dengan kalimat, "Halo, Adik Manis!" Dan kurasakan, hawa Braga menguar di seputarku.
Ia mirip kamu. Setidaknya, kamu dalam bayangan idealku. Kalian pun sepantar, tujuh tahun di atas usiaku. Begitu banyak persamaan yang kujumpai. Sampai akhirnya aku memutuskan: aku tidak selamanya harus menjadi ledekan Arie.
Saat itulah kamu mengabariku cerita yang berbeda dari biasanya. "Barangkali aku tengah jatuh cinta sekarang," tulismu. "Kami sudah bertemu duapuluhdelapan kali, tapi baru tiga kali berbicara. Cinta platonis?"
Kutahan ceritaku sendiri tentang sosok jangkung itu. Aku bilang, "Aku senang mendengarnya. Mas harus berusaha terus, nggak boleh nyerah."
Hampir satu tahun berikutnya, aku mendapatkan sebuah undangan warna sepia yang dikirim dari Bandung, berlatar lukisan. Aku terpana justru bukan karena undangan itu dirancang demikian artistik, tapi oleh sebuah keajaiban cinta. Aku pikir, ternyata demikian sederhana prosesnya. Jatuh cinta, dan kemudian menikah. Tapi aku tidak merasakan kehilangan. Mungkin karena sosok jangkung yang membungkus bayanganmu itu sangat rajin meronce mimpi dalam tidurku.
Barangkali juga karena jarak kita jauh. Atau, karena aku tidak pernah berani memberikan tempat bagi pikiran yang ingin mencoba menganggapmu lebih dari seorang kakak.
Nyatanya, tidak semua cerita cinta itu mulus. Ada yang rumit, menurutku. "Kami hampir bertunangan, tapi akhirnya memilih berpisah. Empat tahun akhirnya seperti sia-sia," tuturku di puncak nyeri. Saat itu kita di 'Kayu Bengkoang', dan kamu menemukan airmata dalam suaraku.
"Tidak ada yang sia-sia. Setiap persoalan menyembunyikan hikmah," tatapanmu teduh. "Hanya, kalau boleh Mas tahu, kenapa memilih berpisah?"
Naif jika kini aku masih memirip-miripkan kalian. Karena, ternyata dia yang kukenal demikian cupat dan posesif. Mungkin aku mencintainya sungguh-sungguh. Tapi tidak sanggup menjadi bara yang memanaskan tungku kecemasan agar terus menyala. Aku merasa dunia terlalu luas jika hanya dilewatkan berdua.
"Mestinya ada suatu titik temu yang bisa dicari!" tukasmu.
Ya, mestinya....
Aku menggigit bibir. Bertepatan dengan itu, seseorang menyenggol lenganku, melontarkan aku keluar dari pusaran lukisan. Dalam sekejap, 'Kayu Bengkoang' lepas dari bayangan. Ketika menoleh kembali, lukisan itu telah diam. Kerongkonganku perih. Lalu kurasakan, suhu udara meningkat dalam ruang pamer seiring dengan kian bekunya seluruh sendi-sendi tulangku. Pengunjung masuk tanpa putus.

CHAPTER 4:
KIDUNG UNGU
"Aku capek...," kesahku perih. Puluhan lukisan berikutnya adalah potongan-potongan episode yang demikian akrab dengan catatan harianku. Juga ketika aku harus patah hati untuk kedua kali. Dan kamu mengabadikannya dalam lukisan di bawah judul 'Kidung Ungu'.
"Aku capek, Mas!"
"Tidak boleh seperti itu! Aku percaya kamu kuat. Kamu harus yakin bahwa begitu banyak orang yang mengasihimu," tanganmu terulur menyentuh pipiku.
"Aku kehilangan lagi...."
"Tapi tidak semua. Ada yang bahkan kehilangan semuanya!"
Aku mencari matamu. Dan kamu mengangguk tulus. Lalu, tiba-tiba saja aku ingin menangis di dadamu....
Aku terus menyeret langkah. Kurasakan seluruh dinding bergoyang. Lampu-lampu benderang. Seluruh wajah dalam lukisan seketika menjadi hidup. Aku berlari dari satu peristiwa ke peristiwa berikutnya. Menikmati tawa, canda, dan airmata. Sampai akhirnya seluruh warna-warni mengalami konvergensi, membentuk episode yang utuh. Aku mendengar suara-suara masa lalu kian nyaring memanggil. Aku terseret lagi ke tengah pusaran, terengah, dan akhirnya tersesat pada lukisan keseratus. Pada lukisan terakhir itu, kutemukan garis wajahku yang utuh. Di bawahnya terdapat coretan: seluruhnya kudedikasikan padamu. Adakah yang melebihi kekuatan dan dorongan untuk berkarya, kecuali cinta?
Kurasakan tubuhku bergetar hebat.
Gigil tak menyiasakan sedikit pun ruang yang bisa menyodori hangat. Tapi, leherku melelehkan peluh. Dan, tiba-tiba aku mengendus aroma Braga yang kental. Aku merasakan suatu ekstasi ketika membayangkan kembali rengkuhanmu di sepanjang jalan, merasakan ciumanmu....
"Terima kasih karena kamu mau datang...," pemilik seratus lukisan itu — kamu — tiba-tiba telah berdiri di hadapanku.
"Aku...," seluruh jemariku basah dalam genggaman.
"Mas mohon maaf karena menggelar pameran ini tanpa seizinmu...."
Aku menggeleng-geleng. "Aku...," kusembunyikan mataku yang merebak. Sendi-sendiku serasa makin ngilu.
"Kamu berhak untuk protes!" Kamu mencari mataku.
Dan ketika kudengar suara Baby, gadis kecil yang dulu pernah kamu kirimkan potretnya saat masih bayi. Suaranya yang runcing dan riang membelah perhatian, memanggil-manggil ayahnya. Aku menyalaminya, sebelum akhirnya kuputuskan untuk segera melarikan diri dari tempat itu.
Aku tahu, saat ini kita tidak boleh terlibat lebih jauh. Cinta boleh datang dan pergi tanpa harus saling melukai. Hati manusia mungkin seperti jagat raya, yang mampu membagi dirinya dalam sejumlah dimensi musim. Aku tahu, kamu bukan tidak sedang mencintai perempuan yang melahirkan Baby.
Kalau ada hal yang patut kusesali saat ini, satu-satunya adalah: mengapa hanya untuk menumbuhkan sebuah kesadaran tentang cinta, mesti diperlukan waktu sepuluh tahun dan seratus buah lukisan?
CHAPTER 5:
SKETSA CINTA DI BRAGA
Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Atas nama cinta, tidak ada yang sulit untuk seorang Feliciano yang ditakdirkan menjadi kaya sejak dalam buaian. "Jika itu yang membuatmu bahagia," bisiknya dalam bahasa Indonesia yang sempurna.
Masalah kita selesai? Ternyata tidak. Padahal, peristiwa itu lima tahun silam. Feliciano bahkan mungkin lupa bahwa seratus lukisan itu dulunya adalah sebuah maskawin. Ia bukan kolektor yang baik — meski ia berburu lukisan hingga ke seluruh penjuru angin dan mengoleksi sedikitnya satu dari lukisan para maestro. Ia lebih tepat disebut investor — adrenalinnya terpacu setiap kali mendengar kabar tentang lelang lukisan. Kecuali... ya, kecuali menyangkut percakapan subuh itu.
"... aku ingin memamerkannya, Honey!"
"Apa?" Ia terlonjak. Hanya sekejap. Setelah itu, pupil matanya yang kebiruan berpendar jenaka. "Sudah nggak cinta hingga maskawin saya mau ditawarkan?"
Aku memandangnya takjub. Ia ternyata ingat. Padahal, sepanjang lima tahun, Braga tidak pernah bergeming dari salah satu ruang di galeri kami. Diperbincangkan pun tidak. Seolah aku dan Feliciano sepakat bahwa lukisan itu sudah bercerita banyak lebih dari apa yang bisa kami bahasakan. Ia simbol pertautan hati kami.
Tapi, bukankah Feliciano selalu antusias mempersoalkan sejumlah dolar atau rupiah untuk sebuah lukisan? Siapa tahu selama ini ia hanya sungkan padaku.
"Pamerkan saja yang lain. Kamu tahu, Andrew berani menawar sangat tinggi untuk Affandi dan Arie Smith yang kita beli di Balindo tempo hari.... "
"Aku...," kerongkonganku panas. "Aku hanya bermaksud menandai lima tahun pernikahan kita. Bukan untuk dijual...." Apapun yang terjadi, lukisan itu tidak akan pernah kujual!
Sesaat ia terkesima. Tapi jenak berikutnya ia memelukku sembari bergumam. "Bagaimana jika ada yang menawar?" Jemarinya menyusup lembut ke rambutku. "Tapi, terserah kamu. Lukisan itu milikmu. Meskipun, buat aku, lukisan itu sungguh berarti...."
Aku menggigit bibir, terasa pahit. Sementara di luar, hujan menenggelamkan subuh. Melalui gorden yang tersingkap, aku menyaksikan rimbun air menempel dan meluruh di kaca jendela. Aku menyurukkan kepala lebih dalam. Balik memeluknya erat. Di sudut mata, kurasakan ada sebutir embun tersesat.

CHAPTER 6:
KENANGAN DI SUDUT GALERI
Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Lalu, engkau akan kehilangan bentangan episode Braga. Risalah kita berakhir. Seperti buku yang terkatup rapat. Engkau kemudian akan menggoreskan lukisan baru bersama Chiara, dan aku menjemput impian hari esok bersama Feliciano.
Ternyata tidak sesederhana itu. Karena sejak peristiwa itu, hujan kenangan justru menderas di salah satu sudut galeri. Tempat itu hanya berjarak lima meter di seberang pandangan. Feliciano membangunnya — maksudku merenovasi dan memperluas galeri — hanya sebulan setelah kami menikah. Dan ia menata Sepanjang Braga pada ruangan terdekat dari kamar tidur kami — ruang yang terletak pada sudut kiri belakang dari keseluruhan ruang pamer — dengan sebidang dinding menghadap kamar yang sepenuhnya terbuat dari kaca.
"Aku ingin seratus lukisan itu bisa kamu nikmati kapan saja kamu mau," tuturnya. Dan aku mendengar gemuruh di dadaku.
Ya, kenangan itu selamanya menderas. Feliciano — sesungguh cinta — mengembalikan jejak langkah kita ke dalam genangan hari lampau. Setiap kali menghikmati Braga, tanpa mampu kucegah, jiwaku mengapung, atau hanyut, bersijingkat, dan melompat-lompat. Menarikan luka.... apakah aku terluka?
Entahlah. Hanya, aku selalu merasa ada getar batin yang selalu gagal kuurai. Siapa sesungguhnya kamu bagi jiwaku? Dan siapa Feliciano bagi hidupku? Apa begitu sulit membenamkan kenangan kita ke sarang waktu — menganggap Sepanjang Braga tidak lebih seperti lukisan-lukisan lain? Bukankah hari ini dan esok adalah milik Feliciano? Tidakkah hari kemarin cukup bagi kita berdua? Tidak ada yang salah dan keliru dalam diri lelaki Filipina-Perancis yang kupilih sebagai pendamping hidupku itu. Ia mencintaiku sepenuh jiwa. Bukankah itu lebih dari cukup?
"Besok malam ada pembukaan pameran di Galeri Maxima. Ikut?"
Lihatlah, mata birunya senantiasa memancar hangat. Feliciano tahu persis kalau aku begitu mencintai lukisan.
"Pameran siapa?"
"Bambang Prasadhi."
Dan kusambut dengan sukacita.
Tapi itu dulu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba aku menyadari ada hari dimana engkau menghilang dari komunitas pelukis. Mungkin sejak Sudjana Kerton memamerkan 'Di dalam Oplet' di Galeri Cemara, Agustus 2001 — pameran pertama yang kukunjungi setelah menikah dengan Feliciano. Atau bahkan sebelum itu.
Yang jelas, beribu hari setelah kesadaran itu, aku tidak bisa menahan diri. Meski bersama Feliciano, aku melakukan kembara diam-diam — mengais jejakmu. Nyaris tidak ada undangan pameran yang terabaikan. Dari Bentara Budaya ketika Nyoman Erawan menggelar 'Pralaya' hingga Musium Bank Indonesia ketika CP Bienalle 2005 'Urban Culture' yang menghebohkan itu digelar. Barangkali saja wajahmu menyembul di antara rupa seniman, atau di antara pengunjung.
Tapi sia-sia. Jejakmu tak berbekas! Sampai perih mataku. Sampai perih jiwaku.
Apakah engkau sembunyi dalam basah luka? Hingga engkau tak lagi kuasa sekadar menghirup aroma cat....
"Aku hanya ingin memberi tahu bahwa Sepanjang Braga sudah menjadi milikku. Seluruhnya, Mas! Feliciano membelinya untukku, sebagai maskawin, atau kami tidak pernah menikah!"
Itu rahasia yang kuungkap lebih dari lima tahun silam di hari terakhir pameranmu. Aku tahu, petugas galeri itu hanya bercerita: seorang warga asing memborong Sepanjang Braga di hari pertama pameran.
Tapi aku... aku tidak pernah bermaksud memberangus jiwamu! Sedikit pun aku tidak pernah berharap bahwa engkau akan berhenti melukis setelah peristiwa itu. Bukankah kita pernah sepakat untuk tidak saling melukai? Bukankah....
"Honey, sepertinya, pameranmu bisa terselenggara. Caesar Palace Bandung kosong pada hari yang kamu rencanakan."
"Really?" Aku terlonjak.
Feliciano mengangguk. Aku memeluknya senang. Di belakang punggungnya, mataku berkabut.
CHAPTER 7:
KAYU BENGKOANG
Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Dan karena kini ia milikku, aku bebas memamerkannya kapan saja dan di mana saja — sesuka yang aku mau.
Mungkin aku keliru memilih tempat. Mengapa harus di Bandung? Mengapa pula harus di jalan Braga? Seolah aku sengaja membaringkan kenangan di ranjang keabadian.
"Lukisan ini sangat bagus," seseorang — yang kukenal sebagai salah satu manager Caesar Palace — bergumam di sebelahku.
"Anda... suka?" Lukisan yang hendak digantung itu nyaris terlepas dari tanganku. Lukisan yang menggambarkan suasana Braga di bawah guyuran hujan lebat, ketika seluruh cahaya menjadi pias, dan sunyi demikian meraja. Lukisan yang mengabadikan peristiwa itu: seorang lelaki merunduk mencium....
Jiwaku seketika gemetar.
"Harganya berapa ya, Bu?" Ia bertanya serius.
"Ngnng ...," suaraku gelagapan. "Tidak dijual!"
Ia terperangah, setengah bingung. Sementara aku tiba-tiba merasa diserang migrain. Apakah nanti setiap pengunjung bertanya demikian? Tidak ada price-list di katalog....
Dengan gugup, aku menyapu aula sekali pandang. Di sudut, Feliciano masih mengawasi penataan lukisan sembari berbincang dengan kurator kami. Masih tersisa banyak waktu sebelum pameran dibuka. Tiba-tiba aku ingin lari....
"Aku lapar, mau cari camilan," dan Feliciano mengangguk tersenyum.
Dan, di sinilah aku — memelihara gelisah. Di Braga Permai. Di salah satu pojok kafe. Hanya ditemani segelas orange juice dan sepotong tiramisu. Alangkah sepi. Serupa kesepian yang menghantu Braga di ujung malam. Ketika kita memuaskan pertemuan terakhir — berabad silam, dan keloneng becak yang melintas tinggal sayup-sayup.
Di luar kafe, sore makin menyusut.
Menyadari gerimis turun lagi, aku merapatkan scarf. Tapi udara yang dingin mengendapkan gigil di batin. Aku meremas tisyu, menghalau gelisah. Entah kenapa, bagiku, rinai hujan selalu menghantar rahasia pengembaraan. Tiba-tiba saja kudengar langkahmu dari masa lalu. Mengetuk-ngetuk trotoar sepanjang Braga, dari ujung ke ujung.
Tanpa jemu.
Seolah tak akan ada lagi malam di Braga sesudah itu.
"Jangan pulang dulu. Tinggallah di Bandung sehari lagi...," suaramu yang bergetar mengiris sunyi.
"Aku janji, aku akan datang lagi...."
Apakah kini engkau juga akan datang? Kuusap mataku.
"Sepertinya ibu menunggu seseorang?!"
"Aku...," jiwaku terkesiap.
Di depanku, pelayan kafe berdiri takzim.
"Ada yang mencariku?" Semangatku memijar.
"Belum...."
Kutarik napas. Mataku kini tak sekadar hangat, tapi perih.
"Ia mungkin tidak jadi datang...."
"Mungkin sebentar lagi," ia berusaha menghibur. "Minumnya mau ditambah?"
"Ng... tidak. Terima kasih," aku berkemas.
Apakah kenangan itu kini tak bernama? Sementara seluruh episode Braga — episode cinta yang tak pernah sampai — tengah utuh mengisahkan diri di Caesar Palace.
Jika engkau pemilik sejati Braga, akankah engkau datang? Bukankah aku telah memanggilmu? Melalui pengumuman di suratkabar. Melalui wawancara di televisi. Mustahil kamu tidak mendengarnya. Kecuali jika kini kamu buta dan tuli.

CHAPTER 8:
BRAGA ADALAH CINTA
Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Dan karena kini ia milikku, aku bebas memperlakukannya — sesuka yang aku mau. Termasuk melelangnya!
Tapi, apakah harus setergesa ini?
Meski engkau tak datang, aku belum seputus asa yang kau bayangkan.
Aku masih menyimpan harapan.
Tapi, lukisan itu....
Ya, Allah!
Apa yang terjadi?!
Setengah tak percaya, kupandangi Sepanjang Braga satu demi satu. Semua telah diberi tanda bulatan merah — sold. Tanpa kecuali.
Duniaku seketika runtuh.
Siapa yang memborongnya?
Apakah engkau balas dendam?
Seperti kesetanan, aku terbang mencari Feliciano.
"Braga...," bahuku beguncang hebat. Perasaanku terburai. "Kenapa aku nggak diberitahu?"
Apapun yang terjadi, lukisan itu tidak akan pernah kujual! Tangisku jebol.
Feliciano meloncat dari tempat tidur. Direngkuhnya tubuh ringkihku. "Aku terpaksa melakukannya...."
Aku mencari matanya. "Siapa pembelinya?" Bibirku bergetar.
Diusapnya rambutku. "Aku!"
"Apa?" Rasanya aku ingin teriak sekencang-kencangnya.
"Sejak pembukaan pameran, banyak sekali peminatnya. Aku sampai lelah...," diacaknya rambutku. "Aku tidak ingin kehilangan lukisan itu. Jadi kuberi bulatan merah saja semuanya...."
Mulutku ternganga. Dari jendela hotel, aku menyaksikan hujan kembali menderas mengguyur Bandung. ©

SELESAI

novel

Hidup adalah serangkaian perjalanan panjang
yang terajut dalam lembar kenangan.
Setiap orang memiliki kenangan-kenangan
yang telah terangkai dalam bingkai manis dan getir kenyataan.
Kita tidak berhak memilih karena dari serangkaian perjalanan panjang itulah
manusia dapat meresapi pengalaman hakiki tentang keteguhan dan cinta.
(Effendy Wongso)

CHAPTER 1:
MEMORI BIRU

Ini memori biru
rangkuman kebersamaan
dalam hari-hari yang singkat
kesederhanaan alur kisah,
dan saling mengasihi merupakan euforia
Semuanya tumbuh seiring kenangan
sehingga sang waktu pun
tak mampu memupusnya
— Catatan Kecil Perjalanan
***
Bromo. 10:15 PM.
Saya baru saja mengedipkan mata ke arah Aditya ketika Mami sudah berdiri di belakang kami dengan muka butek. Terlambat. Anak itu memang lamban selambat kura-kura. Slow motion-nya bikin celaka. Dia lebih gemulai ketimbang balerina.
"A-Adit! Apa-apaan sih kalian ini?!" Wanita gemuk itu menjerit dengan suara semirip lengkingan knalpot bajaj.
"Sa-saya mau ke toilet!"
Robby sudah mengambil jurus langkah seribu begitu Mami melototkan mata sebesar ikan maskoki. Dia terbang segesit walet. Aditya nyaris kelengar. Gagal menyembunyikan botol miras. Prahara tidak dapat dielakkan!
Saya menepuk dahi. Dan mengaduh dalam hati. Kesal. Anak itu selalu bikin ulah. Kali ini Mami pasti akan mengeluarkan petuah-petuah bijaknya yang sepanjang tujuh halaman folio ketik dua spasi. Seperti syarat penulisan cerpen pada sebuah majalah remaja. Tentu saja. Sebagai orang yang dituakan - dalam rombongan tur, Mami merupakan peserta dengan usia terlanjut - dia ingin menunjukkan eksistensi sebagai pemimpin yang baik. (Mami adalah ibu dari Viona Rosalina. Satu-satunya siswi yang memboyong ibunya ke acara tur perpisahan kelas kami).
Hah, cengeng banget memang.
Tapi kalau tidak begitu, katanya sih doi tidak diperbolehkan ikut.
So, jadilah sang idola itu membawa bodyguard!
Mami merampas botol yang disembunyikan Aditya di belakang punggungnya.
"Apa itu?!" tanyanya gusar.
"Itu wiski, Mami," saya menjawab menyergah amarahnya yang sudah mengubun.
"Astaga!" Mami mendesis, menolehkan kepalanya ke arah saya.
"Udara dingin sekali, anak-anak cuma ingin menghangatkan badan dengan wiski itu, Mami."
"Tapi itu bukan alasan untuk bermabuk-mabukan?!"
"Maaf, Mami. Tentu saja bukan untuk bermabuk-mabukan...."
"Adit!" Wanita berwajah bundar itu kembali mengarahkan pandangannya yang tajam ke arah Aditya yang masih kemekmek seperti patung orang setengah kelar. "Kamu yang beli, ya?"
"Maaf. Saya yang membelinya, Mami."
Mami mengibaskan tangannya. Diputarnya tumit dengan pelepah bibir separuh mencibir. Bersungut-sungut seperti kebiasaannya. Dia masuk ke kamar loteng tanpa bilang apa-apa lagi. Memarahi kami dengan diam sampai dua kali dua puluh empat jam seperti biasa!
Mami tidak melanjutkan amarah konservatifnya.
Setelah saya berkorban mengambil alih tanggung jawab, sontak dia memafhumi keadaan yang tidak mengenakkan itu.
Dia tahu saya pasti melindungi anak-anak!
CHAPTER 2:
BROMO DAN SEBUAH KENANGAN

Gegurun dan basir pasir
adalah permadani indah
pada lintang khatulistiwa
negeri para abdi beranak-pinak
Tembang tanah air
bersenandung di telinga
saat kita susuri setapak ini!
— Tembang Indah Negeri Khatulistiwa
***
Bromo. 10:31 PM.
Dalam perjalanan ke Bromo pagi tadi, bis yang kami tumpangi singgah untuk mengisi bahan bakar di Mojokerto. Robby iseng membeli wiski di sebuah swalayan. Katanya, bekal untuk penghangat badan di daerah dingin itu nantinya. Tanpa sepengetahuan Mami, beserta Aditya dia memboyong sebotol air api itu secara gerilya. Sembunyi-sembunyi.
Sayang nasib tak berpihak. Malang tak dapat dielakkan. Aditya dan Robby kedapatan sedang meneggak miras. Kontan saja Mami mencak-mencak. Saya segera mengambil langkah darurat untuk menyelamatkan situasi. Dan mengaku sebagai pemilik miras itu.
"Terima kasih, Wong."
"Untuk apa?"
"Kalau bukan karena kamu, kami pasti sudah kena gampar."
"Mami tidak segalak itu."
"Tapi...."
"Pengalaman kena gampar dari Mami, ya?"
"Belum pernah, sih. Tapi...."
"Jangan berasumsi kalau belum terbukti."
Aditya menundukkan kepalanya. Dipandanginya botol minuman berakohol yang menjadi biang kemarahan Mami. Robby sudah melarikan diri entah kemana. Anak itu memang reseh. Sudah lempar batu malah sembunyi tangan. Asam!
"Hai, guys!"
Saya mengedarkan mata ke arah asal suara.
Viona Rosalina dan Vicky - hm, mereka baru saja jadian, cinlok! - berdiri di bawah bingkai pintu seperti sepasang Ninja. Pakaian hangat yang mereka kenakan sampai menutupi wajah. Hanya menampakkan sepasang mata saja. Saya tahu mereka berdua baru pulang dari warung sebelah bungalo kami. Minum wedang jahe sekaligus 'ehem'.
"Lho, kok pada diaman sih?" Herlina nyeletuk dari belakang sepasang 'Ninja' itu.
"Sariawan, ya?" Naroh dan Yanthi kompakan, seperti melafalkan dialog skenario. Mereka muncul serempak, seperti anak kembar.
Aditya duduk tepekur, masih menatapi botol bening berisi cairan berwarna teh di atas meja. Saya berdiri. Mengambil botol itu. Lalu mengangsurkan botol itu ke arah mereka.
"Gara-gara ini!"
"Hei, ini kan parfum dari Paris?" Naroh berteriak girang.
"Ini bukan parfum, Goblok!" Yanthi menjitak kepala 'kembaran'-nya itu. "Ini miras! Baca baik-baik! Wiski Cap Topi Miring!"
Naroh nyengir. Mengelus-elus kepalanya yang kena jitak. "Habis, warnanya mirip...."
Yanthi mencibir. "Huh, dasar mata rabun!"
Anak-anak peserta tur tertawa terbahak.
***
CHAPTER 3:
CATATAN KECIL PERJALANAN

Pagi bercerita
di antara kekabut yang merangkum
dalam dingin nan membeku
ada kisah miris
pada satu hati yang giris
Dara,
redakan irama tangismu yang rekwin
sebab di sini ada cinta nan platonis
— Jangan Menangis Dara
***
"Mami marah." Saya menjawabi penyebab biang masalah sehingga suasana bungalo mendadak sepi seperti kuburan.
Viona Rosalina cemas, spontan duduk merapat di samping saya. Vicky mengikutinya dari belakang seperti pitik.
"Kenapa?" tanyanya.
"Mami tidak suka lihat anak-anak minum - miras."
"Astaga! Jadi kalian...?" Viona Rosalina menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. "Ya iyalah, Wong. Orangtua mana sih yang suka melihat kalian, anak-anaknya minum miras?!"
"Bukan kami. Tapi, dua orang yang bernama Aditya dan Robby."
"Lalu, Mami...?"
"Yah, seperti biasa. Diaman."
"Hei, Robby ke mana?" Herlina bertanya dengan mata celingak-celinguk. Cewek bermata bola merapatkan jaketnya. Duduk merangkul lutut di atas sofa.
"Sudah terbang bersama UFO!" Saya jawab sekenanya karena jengkel.
Herlina terkekeh.
"Dasar anak itu!" gusar Viona Rosalina.
"Nanti kalau membeku jadi es, dia juga akan pulang sendiri!"
Saya menyegarkan suasana kebekuan dengan mengurai kalimat guyon tadi. Naroh sontak cekikikan. Yanthi ikut-ikutan tertawa. Viona Rosalina cuma tersenyum, tidak ikut tertawa karena masih jengkel - saya yakin senyumnya cuma pura-pura, sama sekali tidak terpengaruh oleh kalimat penyegar suasana tadi. Buktinya, tidak lama kemudian dia malah memberengut, dan sesekali menghembuskan napas kesal.
"Anak itu selalu bikin gara-gara ya, Wong!"
"Iya, tuh. Reseh banget!" timpal Herlina ringan.
"Ngapain coba dia beli miras segala macam. Nyari penyakit saja kan, Wong?!"
Viona Rosalina menggeleng-gelengkan kepalanya setelah mengumpat barusan. Apa-apa juga dia selalu mengarahkan topiknya ke arah saya. Selama dalam perjalanan, mulai dari Jakarta, Viona Rosalina memang paling dekat dengan saya. Anak-anak malah menyangka kami pacaran, soalnya di dalam bis, doi selalu duduk di samping saya. Namun saya hanya menganggapnya teman biasa, dan memberi kesempatan pada Vicky untuk mendekatinya - sedari dulu saya sudah tahu kalau Vicky memang naksir anak itu, jauh sebelum doi dilirik oleh sebuah PH untuk memerankan Mantili dalam sinetron Brama Kumbara. Selama dalam perjalanan pula, kami banyak bertukar pengalaman. Tentang segala hal. Khususnya dunia yang kami geluti masing-masing. Dia menanyai tentang dunia kepenulisan yang tengah saya aktifi. Sementara saya lebih banyak bertanya padanya soal akting dan status yang disandangnya kini yang, lebih lazim disebut selebritis.
"Ya, sudalah. Mau ributin apa lagi?! Mami toh telah marah!" ujar Viona Rosalina, lalu bangkit berdiri, dan mengibas-ibaskan tangannya seperti menggebah domba. "Sudah, sudah! Bubar sana! Besok subuh kita mesti berangkat ke puncak Bromo."
Anak-anak manut.
Berlarian ke kamar mereka masing-masing.
Robby baru kembali tepat ketika jarum panjang jam dinding menunjuk angka sebelas. Untung Viona Rosalina sudah meringkuk di kamarnya beserta Mami. Kalau tidak, anak itu pasti kena damprat!
Jam sebelas lewat dua puluh menit, kami memutuskan untuk rehat. Sama halnya dengan kami yang cowok, bidadari-bidadari peserta tur berbagi dalam beberapa kelompok untuk satu kamar. Berjejal dalam satu ranjang seperti ikan dalam panggangan.
Suhu lima derajat celsius seperti membekukan kami di dalam kamar. Saya lihat Aditya belum berbaring, masih menundukkan kepalanya dengan rasa bersalah di atas ranjang ketika saya hendak mematikan lampu.
"Kok belum tidur sih, Dit?!"
"Belum ngantuk."
Saya urung mematikan lampu.
"Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi. Ayo, tidur sana! Besok subuh kita mesti ke Bromo."
Dia mengangguk. Menelentang, lalu menarik selimut perca tebal sampai menutupi kepala. Saya matikan lampu dengan sentuhan sekali pada saklar meja.
Tidur menikmati dinginnya dingin.
CHAPTER 4:
KARYA ISVARA

Lautan pasir menenggelamkan aku
dalam kata-kata tanpa suara
Ia hadir menghampar
mengeksistensi keberadaan Isvara
— Karya Isvara
***
Bromo, 09.07 AM.
Wanita yang kami sebut dengan Mami itu sekarang sudah mulai melunakkan amarahnya. Sekarang dia tidak lagi ngambek diaman. Banyak hal bagus terlewatkan bila sepanjang perjalanan hanya membatu. Di gigir puncak Bromo dia malah mulai berkelakar. Pranata yang membentang tergebah jauh-jauh. Interaksinya sebagai seorang ibu yang bersahabat telah merajut ikatan dalam lembar keharmonisan. Sebagai tetua, pemimpin, sekaligus teman yang menyenangkan. Dan dengan cepat mengadaptasi dengan peserta tur yang didominir sembilan puluh sembilan prosen kaum muda.
"Pemandangan di sini bagus dijadikan lokasi untuk cerpen-cerpenmu, Wong," usul Mami begitu dia melihat saya mulai mencatat nama lokasi di buku catatan kecil saya. Kami berjalan beriringan bersama.
"Ya, Mami. Semua keindahan ini merupakan karya agung Isvara!"
"Isvara?! Apa itu?!"
"Oh, itu Tuhan, Mami. Dalam Veda agama Hindu, Isvara itu berarti Tuhan Yang Maha Esa."
"Duh, pengarang. Apa-apa juga tahu."
"Ah, tidak juga. Saya masih amatir kelas mading SMA kok, Mami. Tapi, bukankah penduduk asli Bromo memang penganut agama Hindu?!"
"Ah, iya. Seperti di Bali ya?"
"Iya."
"Nah, judul cerpen yang bakal kamu tulis apa?"
"Pastinya sih, belum Mami. Saya masih menulis draf-nya. Tapi mungkin, Sepenggal Kenangan Edelweiss."
"Wah, judulnya indah sekali, Wong."
"Ah, tidak juga, Mami. Saya hanya mereplikasi alam sekitar."
"Ah, ya, ya. Itu tidak soal. Yang pasti kalau dimuat di majalah, honornya buat traktir makan Mami dan Nonon, ya?"
Saya tersenyum menanggapi. Nonon yang dia sebut tadi adalah nama panggilan kesayangan Viona Rosalina. Saya kembali tersenyum. Mami sebenarnya kocak. Anak-anak peserta tur semuanya akrab dengannya. Hanya sayang insiden miras semalam merecoki perjalanan tur kami yang cerah ceria.
Kemarin Robby bikin ulah. Beserta Aditya, mereka menenggak miras di dalam bungalo. Sebenarnya tidak apa-apa, sih. Sebab saya yakin kedua anak itu minum miras bukan untuk mabuk. Tapi Mami tentu saja tidak dapat menerima dalih tersebut. Miras ya miras! Dan anak muda semacam kami memang belum pantas menenggak air api itu. Dengan alasan dan atas nama apa pun!
Tapi untung pagi ini amarahnya sudah padam. Saya lega. Anak-anak biang kerok sudah pula mengakrabi wanita empat puluhan itu.
Keceriaan datang kembali.
***
CHAPTER 5:
CINTA SANG SAKAI

Bromo
sekuntum edelweiss
sepasang kuda hitam dan putih
jejak-jejak kaki para sakai
adalah embusan lafaz
yang ditiupkan dari Svargaloka
kita memang hanya setitik pasir
— Cinta Sang Sakai
***
Perjalanan ke lautan pasir Bromo sudah dimulai fajar tadi. Asep Suparman, pemimpin tur - salah seorang karyawan biro travel yang menyertai rombongan tur sekolah kami - sudah menyipakan keperluan perjalanan plus sedikit wejangan agar tidak tersesat di rimba pasir malam kemarin. Dan begitu weker berisiknya berdering pukul tiga, peserta tur yang asyik meringkuk dalam buain mimpi terpaksa harus bangun. Bergegas masuk ke dalam bis sebelum ditinggal sendiri. Para bidadari sudah on time pukul setengah empat pagi. Telah membungkus diri dengan sweater dan jaket setebal kasur!
Tiba di tujuan, Viona Rosalina mulai beraksi dengan kudanya - perjalanan ke tempat tujuan memang lebih aman dan cepat dengan menunggang kuda yang disewakan sekaligus dituntun oleh sang kusir. Tanpa kesulitan, dia menapaki sanggurdi dan langsung duduk di pelana punggung kuda dengan entengnya. Dipacunya kuda berlari tanpa dituntun oleh kusir penyewaan kuda. Agaknya gadis manis itu memang sudah terbiasa menunggang kuda. Dalam salah satu perannya di sinetron laga Brama Kumbara, Viona Rosalina yang berperan sebagai Mantili memang diharuskan dapat menunggang kuda.
Naroh dan Yanthi masih seiring sejalan. Naik kuda juga beriringan. Tapi karena seumur-umur belum pernah naik kuda selain kuda troya, maka pagi itu juga mereka nyaris bikin stori. Kuda yang mereka tunggangi melompat karena kekangan yang kekencangan. Persis serupa kuda pacuan di arena lomba rintangan berkuda. Untung mereka dituntun oleh kusir sehingga kuda tersebut menjinak. Manut oleh satu tepukan lembut sang kusir di kepala.
Bromo, 11.35 AM.
Vicky masih mengekor seperti pitik di belakang Viona Rosalina. Berhenti di Horse's Camp karena dia tidak berminat menunggang kuda ke gigir kawah. Viona Rosalina sudah melaju di atas kuda seperti pendekar dalam sinetron. Selain mengekor, cowok jangkung itu hanya mengambil gambar lanskap alam Bromo yang indah sepanjang perjalanan ke gigir kawah. Jarang bicara apa-apa. Saya mendekatinya setelah berpisah dengan Noerdin Es. Er. - wartawan dari majalah Anita Cemerlang yang kami undang untuk meliput kegiatan tur perpisahan - dan Asep Suparman yang memilih tinggal di Horse's Camp di perbatasan dusun Bromo. Tidak ikut menunggang kuda seperti peserta tur lainnya.
"Pemandangannya indah sekali ya, Vic." Saya buka suara setelah dia sedari tadi terdiam. Hanya asyik dengan kameranya.
"Iya, Wong. Tapi katanya...."
"Apa?"
"Katanya, kawah Bromo ini suka memakan korban."
"Masa iya, sih?"
"He-eh. Makanya, setiap tahun penduduk sini mengadakan upacara semacam selamatan begitu."
"Namanya apa?"
"Tidak ngerti. Tapi, sesajiannya bisa berupa kepala kerbau segala macam. Ih, serem ya, Wong?"
"Masing-masing daerah memiliki upacara maupun ritual kepercayaan khas tersendiri, Vic. Ngaben di Bali, misalnya. Atau, upacara ritual pemakaman mayat yang khas di Toraja. Nah, itu merupakan khazanah budaya bangsa kita yang majemuk ini. Jadi, hal tersebut jangan dianggap takhayul.
"Tapi, sudah banyak kejadian lho, Wong. Setiap tahun ada saja yang meninggal di kawah Bromo."
"Itu insiden, Vic. Kecelakaan. Human error. Siapa saja bisa menjadi korban kalau lengah dan tidak berhati-hati. Tebing curam, longsor, badai pasir, dan banyak faktor alam lain lagi yang bisa jadi penyebab jatuhnya korban.
"Tapi legenda itu...."
"Legenda bukan merupakan aktualita. Sementara aktualita memerlukan pembenaran. Seperti halnya budaya, legenda merupakan khazanah. Banyak kearifan yang tersirat, yang memerlukan pencernaan nurani ketimbang logika di dalam legenda. Jadi, betapa piciknya kita kalau menerjemahkan legenda di dalam bahasa nalar."
Namun Vicky tidak menggubris ulasan saya. Tetap menganggap legenda itu sebagai sesuatu yang hakiki. Kami berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Bertemu beberapa bidadari yang sudah sedari tadi tiba di gigir puncak Bromo. Mengabadikan gambar sebagai pemajang kenangan.
***
Denpasar, 01.22 AM.
Setelah dua malam di Bromo, trip dilanjutkan ke Bali. Tiba di Bali, rombongan tur langsung diboyong ke Sanur. Sudah pukul satu lebih dua puluh dua menit ketika rombongan tiba, dan menginap di salah satu hotel kecil tapi asri. Anak-anak sudah kelengar. Jadi, tidak ada yang berniat kelayapan di tengah malam kecuali untuk mengisi perut di warung-warung kecil yang berseliweran di sepanjang pantai Sanur.
Saya, Vicky, Robby, dan Aditya memilih makan di luar, warung Padang. Sementara para bidadari ada yang sudah tidak kuat jalan, lebih memilih tidur atau makan di hotel saja. Noerdin Es. Er., Asep Suparman, dan Wayang masih mengurus administrasi hotel.
Sehabis mengisi perut, Vicky mengeluh sakit pada lehernya. Sampai besok pagi pun, ketika kami sudah asyik mengelilingi obyek wisata di Pulau Dewata, cowok itu masih mengeluh kesakitan.
"Saya disambar benda halus, Wong."
"Astaga, Vic!"
Saya sudah tidak tahan. Vicky kelewat terobsesi dengan kisah-kisah legenda sehingga membutakan akal sehatnya. Sejak di Bromo, anak itu selalu ngomong yang ngawur-ngawur seputar dunia gaib.
"Mungkin hantu barong para cenayang," tebaknya.
"Hus, sembarangan kamu!"
"Tapi...."
"Kamu cuma keseleo!"
"Ta-tapi...."
"Sekali lagi kamu ngomong ngawur, disambar Leak baru tahu rasa!"
Saya ngomong sekenanya. Jengkel dengan seliweran dunia klenik dalam benaknya. Dia meringis. Takut dengan ancaman itu.
"Sudahlah, Vic. Lebih baik kamu pergi urut leher di massage daripada ke dukun!"
"Tapi...."
Saya tidak menanggapi keluhannya lagi. Lebih memilih berkumpul dengan peserta tur lainnya. Mungkin ada bahan dan ide yang dapat dijadikan tema dalam cerpen.
CHAPTER 6:
NITA PADA SUATU SENJA

Kuta di senja itu
menjingga dalam kenangan
sayang indah urung mengurai senyum sang jelita
Aku terempas
adakah pendar horizon serupa lentera
sebagai penerang temaram hati?
Tak tahu!
begitu katanya
lalu kutengok edelweiss dalam bisu
ia telah berdialog dengannya
tentang dua hati nan terkoyak
aku terlentang mati karenanya
— Nita pada Suatu Senja
***
Malam di Denpasar sudah mengembuskan atmosfer sedingin es ketika Asep Suparman datang membisiki saya. Katanya, gadis itu kelewat introver. Gadis berkulit putih itu merupakan salah satu bidadari. Namanya Nita, Nita Vega Pramana. Dan setelah tujuh hari bersama menyusuri trip asyik Jawa-Bali bersama anak-anak satu kelas, saya baru menyadari kalau gadis teman sekelas saya itu memang sering menyendiri dengan wajah murung.
Dalam rombongan tur perpisahan kelas kami, memang ada dua puluh tiga bidadari. Bidadari di sini tentu merupakan artifisial. Bukan para dayang dari istana langit seperti yang termaktub dalam serangkaian dongeng kanak-kanak. Yang memiliki kecantikan paras seindah berlian dan permata berkilau dari nirwana. Sama sekali bukan. Tapi yang dimaksud adalah dua puluh tiga siswi biasa SMA Regina Pacis yang masing-masing, memiliki kepribadian, karakter, dan watak sendiri-sendiri.
Sepasang mata indah itu tampak menekuri lantai hotel. Seperti mengamati alur-alur lantai, menghitung partikel garis akibat gesekan sepatu pada ubin porselen bermotif kembang keramik.
Asep Suparman sang Koordinator tur juga sempat bilang, kalau dia kasihan melihat anak itu.
Ekstrim dia bilang, takut terjadi apa-apa dengan gadis berwajah pucat itu.
Pembawaannya diam melulu. Bicaranya hemat energi. Hanya, ya dan tidak. Plus gelengan atau anggukan!
Dan tentu Asep Suparman punya alasan untuk mengkhawatirkan kondisi yang tidak mengenakkan itu.
Tentu saja.
Bukan apa-apa sebenarnya.
Tapi, seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada salah satu rombongan peserta tur, maka dialah yang pertama-tama digorok oleh pimpinan pihak travel di Jakarta!
Makanya, dia mendekati dan menceritakan perihal kelakuan ganjil Nita kepada saya.
Saya langsung mengangguk paham.
Untuk menyelami dasar hati gadis serupa arca itu, Asep Suparman tentu angkat tangan. Dan dia menyerahkan tugas moral itu kepada saya. Katanya, masalah gadis itu adalah level kawula muda. Sebab dia yang nyaris berkepala empat itu sudah tidak sinkron lagi kalau masuk ke dalam dunianya remaja.
"Saya serahin Nita sama kamu, Wong. Kamu kan ketua kelas. Ya paling tidak kamu bisa mimpin anak-anak!"
Setelah menyerahkan tugas itu kepada saya, dia tampak sumringah dan dapat tertawa lagi seperti biasa. Bercanda dengan peserta tur cowok lainnya, yang saat itu sedang asyik bermain gitar dan gaple.
***
CHAPTER 7:
EDELWEISS DALAM BISU

Edelweiss dalam wadah sabun
tak secantik mawar
atau anggrek
Demikian aku berkata padanya
pada suatu hari di penghujung kenangan
Bukan lantaran itu kukagumi kau, Cinta
namun ada sugesti dalam birama hati
dan obsesi tentang damainya dua hati
Terima kasih, Cinta!
aku menangis dalam perpisahan ini
mungkin semua adalah euforia
tapi sungguh,
kutelah jatuh hati padamu
dan sesungguhnya kaulah edelweiss dalam bisu
— Edelweiss dalam Wadah Sabun
***
Saya dekati gadis pendiam itu. Duduk di sampingnya. Berdeham untuk menarik perhatian. Dia hanya mengangkat muka sekilas. Lalu mulai menundukkan kepalanya lagi.
"Tidak gabung sama teman-teman?"
Saya bertanya, lebih sekadar berbasa-basi. Entah harus ngomong apa dengan gadis serupa arca ini. Tentu sulit mencari kalimat yang tepat untuk mengajaknya berdialog. Jadi saya hanya melantunkan kalimat klise tadi.
Dia menggeleng.
Saya lihat sekuntum edelweiss berpot wadah bekas sabun colek di atas meja tamu kamarnya. Pasti miliknya. Bunga yang tumbuh di daerah dingin itu sebenarnya tidak terlalu indah di mata saya. Lain halnya kalau mawar atau anggrek. Tapi meski tidak seindah bunga-bunga hias, edelweiss merupakan bunga langka yang banyak diminati orang. Selain karena jarang, bunga tersebut juga memiliki nilai histori sendiri di kalangan pencinta bunga.
"Punya kamu?"
"He-eh."
"Dapat dari mana?"
"Beli sewaktu di Bromo."
"Kamu suka edelweiss, ya?"
Dia mengangguk.
"Padahal, gadis-gadis sih biasanya senang sama mawar."
Dia membisu. Masih duduk di sofa hotel dengan wajah menekuk. Saya sedikit rikuh dengan kelakuannya yang laten serupa arca. Saya menggaruk kepala tanpa sadar. Mencari kalimat tepat untuk tetap mengajaknya buka suara. Saya tidak ingin dia berkubang sendiri seperti muno. Padahal, kedua puluh dua bidadari lainnya sudah berkumpul seperti biasa. Menebar jala gosip khas nona-nona metropolis. Apa lagi kalau bukan soal dunia lawan jenis pemikat sukma alias cowok-cowok keren, yang bisa dijadikan tongkrongan kebanggaan suatu waktu.
"Ada stori dengan edelweiss, mungkin?"
"Tidak juga. Tapi...."
"Apa?"
"Kata orang, edelweiss merupakan lambang kelanggengan cinta ya, Wong?"
Saya tersenyum. Gadis 'bisu' itu sudah mulai buka suara. Saya cepat-cepat mengangguk, mengiyakan kalimatnya barusan. Tentu saja. Sebelum dia kembali mengikat mati simpul bibirnya. Diam dan membisu sejuta bahasa.
"Kata orang pula, kalau seseorang menyimpan beberapa helai bunga edelweiss di dompet, maka biasanya mereka akan enteng jodoh. Juga awet dengan pasangannya sampai tua."
"Mungkin."
"Kok mungkin sih, Wong?!"
"Memangnya kenapa?"
Saya pancing dia untuk melontarkan kalimat.
"Maksud saya, edelweiss ini kan...."
Kena!
Saya sudah berhasil menggetarkan pita suaranya untuk melantunkan dialog. Dia menatap saya dengan rupa heran. Sepasang alisnya bertaut, menggambarkan keingintahuan.
Memang itulah yang saya harapkan!
***
CHAPTER 8:
JINGGA KENANGAN

Kau adalah edelweiss yang terluka
dalam gambaran durja berkabut renjana
dan tangis berlumur darah

Mungkinkah kenangan ini
dapat menghapus jejak langkah sang satir?
Mungkin tidak, pikirmu!
Tapi di sini aku justru menangis
sebab kau adalah edelweiss yang tak terjamah tangan
— Aku Cinta padamu Nita
***
"Saya kira hal itu hanya sugesti."
"Sugesti?!"
"Ya."
"Maksud Wong, sugesti...."
"Sugesti adalah metafora, di mana sesuatu hal atau benda dianggap dapat memberikan nilai makna atau tujuan pada seseorang. Misalnya jimat, bebatuan bertuah, mantra-mantra dan lain sebagainya. Nah, termasuk edelweiss ini juga!"
"Oya?"
"Ya. Penggambaran edelweiss sebagai bunga keabadian kisah asmara, tidak terlepas dari persepsi yang melegenda. Soalnya, bunga edelweiss tidak mudah ditemukan di sembarang tempat. Edelweiss tumbuh di tempat yang paling terpencil. Biasanya di lereng-lereng bukit yang terjal. Tidak mudah digapai tangan-tangan jahil. Nah, kalau kita bicara soal kata terpencil, di mana sih daerah terpencil pada manusia selain hati?"
"Hm, maksud Wong...."
"Edelweiss itu hanya simbol penggambaran cinta sejati. Cinta abadi seseorang kan berasal dari lubuk hati - mirip dengan tempat tumbuhnya edelweiss di lereng-lereng terpencil."
"Oo, jadi hanya sugesti ya, Wong?"
"Tentu saja. Kalau bukan sugesti, setiap orang yang menyimpan edelweiss di dompetnya pasti memiliki pacar yang tidak bakal selingkuh. Bapak-bapak tidak ada yang berpoligami. Hahaha...."
Saya terbahak.
Gadis itu tersenyum.
"Eh, Nita kok pendiam sekali sih? Apa yang dipikirin, sih?"
"Ti-tidak." Dia menggeleng dengan leher getas. "Tapi, sayang dong kalau edelweiss itu hanya sugesti!"
"Maksudmu?"
"Sebetulnya, dengan edelweiss ini saya berharap Papa dan Mama saya bisa rujuk kembali di Jakarta!"
"Ya ampun, Nit! Jadi...."
"Orangtua saya baru saja bercerai, Wong!"
"Pantasan kamu...."
Saya terkesiap. Sedikit merasa menyesal telah secara tidak langsung menguakkan kembali kisah suram keluarganya yang lantak. Tapi saya memang tidak sengaja. Saya prihatin. Sangat prihatin. Pantas gadis itu seperti tidak memiliki semangat hidup.
"Saya memang bodoh ya, Wong! Mau percaya...."
"Tidak, Nit!"
"Tapi...."
"Kamu jangan bilang begitu."
"Sa-saya...."
"Kamu tidak salah berbuat begitu demi kebaikan orangtua kamu. Tapi alangkah baiknya kalau setiap hari kamu berdoa, supaya orangtua kamu dapat rujuk kembali. Itu lebih bagus ketimbang bersugesti dengan legenda edelweiss."
"Saya...."
"Saya turut prihatin atas prahara yang menimpa keluargamu. Tapi, saya harap kamu jangan terlalu sedih. Saya kira semua itu hanya cobaan hidup buat kamu!"
Saya lihat mata gadis itu berkaca-kaca. Sepasang tangannya yang lampai menyentuh bunga-bunga edelweiss di atas meja. Seperti mengusap helai-helai berwarna putih gading edelweissnya.
"Ta-tapi bunga-bunga ini...."
"Simpan di kamarmu sekembali ke Jakarta. Saya yakin, edelweiss itu pasti akan membuat ruang kamar kamu jadi lebih cantik."

CHAPTER 9:
SEPENGGAL KENANGAN EDELWEISS

Ada dua hati nan membisu
tanpa kata
tanpa sapa

Edelweiss hanya saksi sunyi
dalam giris lagu hati
kala airmata kita menitik
bagai landung embun di pucuk cinta
— Edelweiss Cinta Kita
***
Denpasar tujuh pagi.
Masih terlalu pagi sebenarnya untuk memulai perjalanan.
Saya lunglai. Berdiri di hadapan taksi dengan sikap gugu. Perjalanan ini merupakan pertemuan terakhir saya dengan teman-teman sekelas lainnya. Tiga tahun kami bersama dalam suka dan duka. Ada saatnya memang kami harus berpisah. Memilih jalan hidup kami masing-masing setelah menamatkan pendidikan di SMA Regina Pacis.
"Wong, mampir-mampir ke rumah ya?" Yanthi menjabat tangan saya.
"Jangan lupain Lina ya Wong kalau sudah di negeri orang!" Herlina berteriak dari dalam bis.
"Awas lho Wong, kalau tidak mampir ke rumah saat pulang ke Jakarta!" teriak Viona Rosalina menongolkan kepalanya keluar jendela, lalu melambai antusias. "Sering-sering SMS, ya?"
Saya mengangguk.
Langkah saya memberat ketika Asep Suparman sudah mendesak agar segera berangkat ke Bandara Ngurah Rai. Telat satu jam berarti saya harus ketinggalan pesawat.
Pagi itu semuanya seperti membisu.
Saya melambai, namun masih mematung di samping taksi yang akan mengantar saya ke bandara. Entah, keengganan seperti menjerat tubuh saya dalam ketidakrelaan berpisah. Kenangan kami demikian kental sehingga memenjarakan saya dalam ketersimaan. Saya seperti tidak percaya. Dalam hitungan detik, kami sudah harus berpisah!
Di halaman hotel, bis pun sudah siap mengantar rombongan tur kembali ke Jakarta. Saya tidak ikut pulang ke Jakarta, karena via udara langsung ke Singapura untuk mengikuti tes masuk ke salah satu perguruan tinggi jurnalistik di sana.
Saya lihat Nita masih menundukkan kepalanya seperti biasa. Dia tidak berkata apa-apa tanda pamit. Saya hanya lihat matanya yang membasah. Saya tahu dia sedih. Sedih sekali. Sayang saya tidak punya cukup waktu untuk menghiburnya. Saya hanya bisa berdoa, semoga prahara keluarganya lekas berlalu.
"Wong, jaga diri baik-baik!" teriaknya akhirnya dengan suara parau.
Saya mengangguk. Nyaris meneteskan airmata haru. Tapi saya cepat-cepat berbalik, lalu masuk dan duduk ke dalam taksi.
Perjalanan dan singkat hari-hari kebersamaan memang membawa kenangan yang dalam. Di dalam taksi yang melaju kencang menuju bandara, saya sudah tidak kuasa menahan airmata yang menyeruak. Barangkali saya terlalu cengeng dengan akhir euforia ini. Barangkali juga saya telah jatuh hati kepada Nita.
Ah, entah kapan saya dapat bertemu, dan merangkai cerita indah bersama gadis itu lagi. ©

SELESAI

cerpen

SNOW WHITE; A NARRATIVE TEXT
Once upon a time there lived a little, named Snow White. She lived with her aunt and uncle because her parents were died.
One day she heard her aunt and uncle talking about leaving Snow White in the castle because they wanted to go to America and they didn’t have enough money to take Snow White with them.
Snow White didn’t want her uncle and aunt to do this. So she decided to run away. The next morning she run away from home when her aunt and uncle were having breakfast, she run away into the wood.
In the wood she felt very tired and hungry. Then she saw this cottage. She knocked but no one answered so she went inside and felt asleep
Meanwhile seven dwarfs were coming home from work. They went inside. There, they found Snow White woke up. She saw the dwarfs. The dwarfs said; “What is your name?”. Snow White said; “My name is Snow White”. One of the dwarfs said; “If you wish, you may live here with us”. Snow White told the whole story about her. Then Snow white ad the seven dwarfs lived happily ever after.

Generic Structure Analysis
1. Orientation; introducing specific participants; Snow White
2. Complication; revealing a series of crisis: Snow White’s aunt and uncle would leave her in a castle, Snow White run away, Snow White felt hungry in the wood.
3. Resolution; the crisis is resolve: the dwarfs permitted Snow White lived in their cottage lived happily
Language Feature Analysis
o Using saying verb; answered
o Using thinking verb; decided
o Using action verb; run away
o Using time conjunction; once upon a time, one day
o Using connectives; then, meanwhile
o Using past tense; she heard her uncle

Selasa, 24 Februari 2009

Kisah Valentine Terakhir

Rabu, 13-02-2008 11:39:58 oleh: agnes davonar
Kanal: Sastra
Kisah Valentine Terakhir Aku pernah bertanya dalam hatiku, apa yang aku cari ketika di hari semua orang memberikan kasih sayang. Sedangkan aku tetap di sini untuk terdiam, bertanya siapa yang akan memberikan aku sebuah coklat ataupun setangkai mawar merah yang artinya aku disayangi. Dan ternyata hingga kini usiaku 20 tahun, tak seorang pun yang memberikan hadiah, namun tahun ini aku mendapatkan sebuah hal yang tak pernah aku pikirkan. Hadiah dari kakekku.



Ia datang menempuh jarak yang cukup jauh dengan sepeda tuanya yang layak untuk dimuseumkan. Bunyi sepeda yang mengiris dengki dan ngilu. Namun ia tetap setia datang untuk memberikan aku sebuah hadiah. Aku membuka pintu utama rumahku ketika ia datang memarkir sepedanya di halaman rumahku. Ia tersenyum menatapku dengan membuka topi tua klasik Cinanya. Usianya yang sudah 70 tahun tampak terlihat dengan rambutnya yang sudah memutih.

"Kakek kok siang siang gini datang , apa ga kepanasan?"

"Ga pa pa. Mana mamamu?" Tanya Kakek

"Dia lagi pergi ke rumah tetangga..?"

"Oh.. ya sudah tak apa? Kamu kenapa tidak kuliah?"

"Ya, ampun kakek ini kan hari libur . Hari Minggu. Kakek pikun ya?"

"Ah.. maaf, Kakek lupa.. ini Kakek ada hadiah kecil untuk kamu?



Kakek memberikan aku sebuah hadiah dalam kotak kecil kusam yang berwarna merah. Tampak dekil dan aku menyentuhnya dengan sedikit jijik lalu membukanya tampak sebuah liontin anting berbentuk bunga matahari perak.

"Apa ini.. ?

"Ini hadiah untuk kamu, Cuma ada satu. Satunya lagi ilang. Ini saja baru kakek temukan pas lagi beres-beres gudang, sayang kalau dibuang. Itu hadiah berkesan kakek untuk kamu.?"

"Hah.. mana jaman aku pake ginian..?"

"Hehehe.. ya simpan saja kalau kamu tidak suka?"

"Oh..kakek mau masuk dulu ga?"

"Kakek mau duduk di teras rumah saja. Kamu ambilkan kakek teh hangat saja?"

"Oo.. ya sudah tunggu ya..!"



Beberapa saat kemudian aku keluar dengan sebuah teh hangat sisa milik ayahku yang sedang pergi bersama ibu. Memberikan teh tersebut di meja teras, menatap wajah kakek yang sedang termenung memandang halaman rumahku yang dipenuhi ikan mas di kolam kecil.

"Kek. Ini air tehnya..!"

"Makasih.. kamu kenapa kok Valentine gini masih di rumah?"

"Hm.. kakek tau Valentine juga ya.. kirain ga ada jamannya!"

"Enak saja. Biar tua gini.. kakek juga pernah muda lah!"

"Oh gitu ya.."



Aku memperhatikan wajahnya yang termenung. Keringat basah yang bercucuran di keningnya terlihat menyatu dengan keriput tua di garis wajahnya. Lalu ia tiba tiba mengajakku bicara.

"Kamu kenapa tidak punya pacar sampe sekarang?"

"Ga tau , Kek. Nasib jelek kali. Emangnya kenapa?"

"Ga pa pa. Kakek juga pernah berpikir sama kayak kamu kok. Tapi jangan cemas Angel. Takdir cinta manusia itu akan selalu ada..!"|

"Lah.. kok bisa ngomong gitu. Kan Angel ga jelek-jelek amat kek. Kenapa masih single ya. Iri deh sama temen temen yang punya pacar di Valentine gini.!!"

"Hehehe.. kakek ada cerita buat kamu. Mau denger..?"



Aku mulai males mendengarkan dongengnya yang selalu kudengar sejak kecil. Namun kesepian dalam rumah juga membosankan. Akhirnya aku terdiam mendengarkan kisahnya saja. Toh tidak ada salahnya.



*****

Di masa lalu.

Albert ( Kakekku) adalah seorang pria pemalu dalam segala hal. Bahkan hingga ia duduk dibangku SMA ia tidak mendapatkan kekasih yang ia inginkan. Namun ia bertaruh dengan seorang rekannya akan membawa seorang wanita di hari Valentine. Ia pun bertekad memamerkan wanita itu pada harinya. Dengan segenap usaha dan waktu yang sempit ia pun mulai mencari-cari. Dari adik kelas yang cantik hingga kakak kelas yang cantik semuanya ia coba cari untuk menjadi pacarnya.

Namun tidak ada satupun yang berhasil membuat hatinya luluh. Wajah kakek tidak jelek-jelek banget untuk menjadi pria jomblo. Ketika ia pulang sekolah dengan sepedanya yang masih ada hingga sekarang ia pake. Bannya kempes karena tertancap paku. Ia pun terpaksa mendorong sepeda itu hingga ke rumah. Di dalam perjalanan. Seorang gadis muda berlari memukul kepalanya dengan keras, wanita itu tampak pucat. Kakek kontan marah

"Ngapain sih kamu pake mukul kepala aku. Sakit tau?"



Gadis itu tampak pucat dan tidak bicara. Ia hanya mengerakkan tangan seperti memberikan sandi kepada Albert untuk mengerti maksudnya.

"Apa sih. Ga ngerti ah.. gila ya kamu?"



Gadis itu terus mengerakkan tangannya. Wajahnya seperti meminta pertolongan. Albert mengira gadis itu tidak waras. Lalu pergi ketakutan. Tapi gadis itu tidak menyerah begitu saja, ia pun menarik lengan baju Albert. Albert pun semakin marah.

"Eh orang cacat ngapain sih ganggu aku. Ngomong aja ga bisa. Uda sana pergi"

Gadis itu terdiam. Ia menangis. Dan Albert menjadi tak enak hati berkata kasar. Lalu berkata

"Emang ada apa sih?" tanya Albert.



Gadis itu menarik tangan Albert untuk mengikutinya. Memasuki sebuah tepi sawah kosong. Ketika mereka tiba. Terlihat seekor anak burung terjatuh dari kandangnya yang terdapat di atas rumah pohon keci. Albert mengerti maksud gadis itu, ia hendak meminta tolong Albert mengembalikan burung kecil itu di atas pohon. Albert hanya berpikir mengapa gadis itu harus peduli terhadap burung kecil yang tak ada artinya tersebut. Untungnya bayi burung kecil itu tidak terluka. Ia selamat ke kandangnya , gadis itu tampak senang. Wajahnya yang sedih kemudian berseri seri.

"Uda kan. Sana pulang..?" ujar Albert.

Albert pun meninggalkan gadis itu begitu saja. Namun gadis itu menempuk badannya dari belakang.

"Kenapa lagi?"

Gadis itu mengambil sebuah tangkai pohon kecil menuliskan sesuatu di tanah liat. Lalu Albert membacanya.

"Nama aku sapa?.. oh nama aku Albert, kamu?" tanya Albert

"Agnes..." tulisan itu berkata

"Oh.. Agnes " ujar Albert



Gadis itu kemudian menuliskan tulisan kembali

"Terima kasih. salam kenal"

"Ok. Sama sama.. aku pulang dulu ya. Kamu pulang sana.. "



Albert berjalan meninggalkan Agnes. Namun Agnes terus mengikuti pria itu. Albert menjadi risih namun tidak berusaha peduli. Ia terus menuntun sepedanya dan gadis itu terus mengikutinya, ia semakin emosi.

"Ngapain sih kamu, ikutin aku terus?"



Gadis itu terdiam kemudian menunjuk rumah di sampingnya. Albert yang tampak marah ikut terdiam memperhatikan rumah di pinggir jalan yang cukup besar.

"Itu rumah kamu?" tanya Albert dan Angel mengangguk tanda ya.

"Oh.. sorry kirain kamu ikutin aku terus. Kalau gitu pulang sana. Aku mau pulang juga!"

Albert memastikan gadis itu telah masuk ke rumahnya, hatinya tenang. Ia tidak berpikir gadis itu jelek namun sayang ia bisu. Andai saja ia tidak bisu ia akan terlihat sempurna. Ketika beberapa meter berjalan. Gadis itu kemudian kembali berlari mendekatinya. Nyaris saja Albert naik pitam namun ketika gadis itu muncul dengan alat pompa ia mulai mengerti kebaikan gadis itu. Albert menatapnya gadis itu yang baik hati. Kemudian mereka berpisah.



Keesokan harinya.

Albert sedikit emosi ketika sahabatnya Hendra tak henti-henti mengejek dia tidak laku. Hari Valentine semakin dekat. Namun ia belum saja mendapatkan gadis impian. Akhirnya ia pun memutuskan bolos dari pelajaran selanjutnya. Ia menarik sepedanya kabur dari sekolah dengan ejekan teman temannya. Ia mengayuh arah sepedanya tampak arah. Kemudian hujan turun. Ia terhenti di sebuah pohon kecil untuk berteduh dari hujan besar tersebut.

"Sialan Hendra , pake ngeledekin gua. Dia ga tau aja cewek impian gua kayak apa. Emangnya gua murahan kayak dia semua juga diembat! Bikin keki aja!"

Ketika ia mengeluh. Hujan tak semakin mengecil namun semakin besar. Tiba tiba muncul Agnes gadis bisu yang ia jumpai dengan sebuah payung berjalan melihatnya. Gadis itu kemudian menyapanya dengan tepukan tangan. Albert yang sedang melamun sedikit kaget ketika melihat Agnes.

"Ngapain lo ujan ujan keluyuran?" Tanya Albert

Kali ini gadis itu tidak lagi terdiam , ia mengambil tas yang berisi buku kecil kemudian menuliskannya.

"Habis pergi lihat burung kemarin. Ingat?"

"Oh. Inget , ngapain dilihatin terus. Emang itu burung kamu?"

"Bukan. Itu burung tak dikenal. Kasian takut jatuh lagi. Dan ternyata tidak. Kamu keujannya ya?" tulisnya

"Ya iyalah emang kalau disini berdiri ngapain?"

"Tunggu ya.. aku pulang ambil payung buat kamu?"

"Hah ga usah.. repotin aja.."



Agnes tersenyum kemudian berlari bersama payungnya menembus hujan lebat. Mungkin ia tidak mendengarkan suara larangan Albert karena hujan besar membisingkan suasana. Beberapa saat kemudian gadis itu kembali dengan pakaian yang basah walau mengunakan payung. Ia tersenyum sambil memberikan payung itu pada Albert.

"Idih. kamu ngeyel amet sih. Uda bilang jangan! Liat deh kamu jadi basah kuyup gitu"

"Ga pa pa.. aku uda biasa. Ini payung pake ya.. aku mesti pulang dulu!"

"Terus aku balikin payung ini gimana?"

"Kamu masih inget kan rumah aku. Ntar kalau sempat kembalikan, kalau tidak sempat ya sudah buat kamu saja!"

"Oh.. ya udah!"

Albert melihat gadis itu berlari menghilang diantara hujan. Ternyata Agnes berlari di sebuah tempat orang lain berteduh. Ia melihat seorang ibu yang terdiam menunggu hujan dengan payung yang ia tidak pakai. Kemudian memberikan payung itu pada ibu tersebut, ia berhenti dijalan tadi sebelumnya ia berkata pada ibu itu untuk meminjam payungnya sesaat karena tidak mungkin ia pulang ke rumah mengambil payung. Lalu payung yang ia gunakan sekarang ia berikan kepada ibu itu. Payung miliknya kini dipakai oleh Albert.

***

Albert menuju rumah gadis itu untuk mengembalikan payung yang ia pinjam hujan lusa lalu. Ia tiba ke rumah yang cukup besar. Namun tampak sepi, ia mengetuk pintu dan kemudian muncul Agnes menyambutnya. Tampak basa-basi Albert mengembalikan payung tersebut. Ia menatap wajah Agnes yang cukup cantik dari kepala hingga kakinya. Dan mulai berpikir.

"Mungkin kalau Agnes aku bawa ke Valentine nanti. Mereka bakal kaget ya. Cantik. Tapi dia kan bisu. Gimana ntar jadi ejekan lagi! "

Ia pun melewatkan angan-angan itu. Dan pergi menuju sekolahnya. Agnes menatap pria itu dengan tersenyum. Melambai-lambaikan tangannya terlihat girang memberikan salam perpisahan. Di sekolah, kembali terjadi perdebatan dengan Hendra

"Bet, Valentine itu besok. Mana cewek kamu?" ledek Hendra dan Albert terdiam sambil berpura pura menulis

"Udalah Bet. Kita tau kok. Kamu homo hahahaha" seluruh kelas tertawa dan Albert mulai tidak tahan

"Aku bukan homo. Aku ada pacar. Namanya Agnes!!"



Seluruh isi kelas yang bising menjadi sunyi mendengar ucapan Albert. Hendra tidak percaya begitu saja.

"Oh.. kalau gitu besok buktikan. Tapi kalau sampe dia ga ada atau lo cuma bohong. Kamu kita anggap homo, semua orang uda pikir gitu juga. Ok!!"

"Ok!!"



Albert terlanjur mengeluarkan janji yang tidak bisa ia pungkirin. Sepanjang perjalanan ia mulai berpikir kesalahan fatal yang ia katakan. Namun tidak ada jalan lain selain menjalankan semuanya dengan terpaksa. Ia pun pergi menuju rumah Agnes. Agnes menyambutnya dengan gembira. Lalu terlihat kaget mendengarkan ajakan Valentin dari Albert.

"Mau ga lo besok ikut Valentine Day di sekolahku?"

"Emang boleh?" tulis Agnes

"Boleh.. tapi janji satu hal ya! Sama aku!"

"Apa?"

"Maaf sebelumnya. Jangan pernah tunjukin ke semua orang kalau kamu itu bisu?"

Wajah Agnes seketika terlihat murung. Namun walau tersinggung ia pun bersedia menyanggupinya. Albert pun mengatur semuanya. Mulai dari semua pembicaran yang tidak boleh menunjukkan ia adalah seorang bisu. Hingga penjemputan dan apapun yang dapat membuatnya tidak malu karena membawa Agnes ke sekolahnya. Hari itu pun ditunggu.



Keesokan harinya.

Albert terpaku ketika menjemput Agnes dengan sepedanya. Gadis itu terlihat cantik dengan gaun putihnya. Ia sedikit terlena melihat Agnes begitu cantik dan sempurna. Ia pun membawanya ke sekolah. Di sekolah telah terlihat semua murid yang membawa pasangan masing-masing. Ketika Albert dan Agnes tiba. Semua mata terpaku tak percaya. Mengapa Albert bisa membawa seorang gadis cantik. Termasuk Hendra. Lawan taruhannya.

"Ini Agnes. Pasangan gua!" kenal Albert pada Hendra yang juga langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.



Kemudian keduanya meninggalkan Hendra dengan perasaan malu karena harus mengakui kehebatan Albert. Pesta berakhir sukses dengan kemenangan Albert. Kemudian Albert dan Agnes dapat pulang dengan senyuman besar. Dalam perjalanan, Agnes menepuk pundak Albert dari sepedanya.

"Kenapa?"

"Mau anterin aku ke rumah pohon burung itu ga?" tulis agnes



Albert pun melaju sepedanya ke rumah pohon tersebut. Ketika mereka tiba. Agnes menangis histeris. Ini pertama kalinya Albert mendengar suara pertama dari gadis itu. Ia menangis karena burung kecil itu terjatuh lagi dan kali ini terluka cukup parah hingga kakinya mengalami luka. Albert dan Agnes tidak dapat berbuat apa apa selain membawa burung itu ke rumah Agnes. Setelah mengobati lukanya . burung itu dirawat di rumah agnes.

"Kamu kenapa begitu peduli sama burung kecil ini"

"Karena burung ini hidup di kandang yang dibuat oleh Kakek untuk aku sebelum meninggal?" tulis Agnes

"Oh.."

Lalu Agnes pun bercerita bahwa ia memang datang ke kampung Kakeknya untuk mengambil barang-barang yang hendak dipindahkan dari rumah kakeknya, jadi ia hanya menikmati liburan di sini. Hingga ayah dan ibunya datang menjemputnya.

"Jadi kamu akan pergi dong?" tanya Albert

"Iya.. kapan-kapan kamu datang ya ke daerah aku di Serang?"

"Hm. Kalau ada waktu datang dong. Kan rumah ini tetap perlu dijaga."

"Iya pasti kok.. lagian aku masih lama disini.. tenang aja!"



Albert pun semakin dekat dengan gadis itu. Ia mulai menjadi dekat dengan gadis itu. Setiap hari mereka selalu merawat burung itu bersama. Hubungan yang semakin dekat dari hari ke hari. Hingga Hendra memergoki Albert bersama gadis itu dan menyadari gadis itu cacat. Ia mulai berambisi membuat malu Albert di seluruh kelasnya.

Ketika Albert pergi ke sekolah dan semua memandangnya lucu. Ia tak mengerti apa yang mereka tertawakan hingga ketika ia tiba di kelasnya. Muncul tulisan.

"PACAR ALBERT ITU CACAT ALIAS BISU. KASIAN DEH"



Albert spontan marah. Dan menghapus tulisan itu, namun semua orang mulai tau. Dan ia pun menjadi malu karenanya. Hendra datang menghampirinya

"Aloh kekasih bisu. Ternyata levermu ama gadis cacat ya hahahaha"

Mendengar ejekan itu . Albert marah dan menghajar Hendra, mereka terlibat perkelahian dan dihukum oleh guru mereka.

Albert yang telah malu, menjadi bodoh sehingga ia mulai berpikir untuk memperbaiki nama baiknya dengan memacari seorang adik kelas yang ia tidak cintai. Mereka pun jadian.

Sementara itu Hendra mengunakan kesempatan ini untuk bertemu dengan Agnes. Ia pun membongkar semua tujuan Albert kepada Agnes.



"Jadi dia deketin kamu cuma buat bikin aku malu karena dia keliatan laku, punya pacar. Padahal dia cuma manfaatin kamu. Mana mau dia sama kamu. Cacat. Bisu gitu"



Agnes berlari menangis mendengarkan kata kata itu. Ia mulai curiga ketika melihat Albert menghilang sejak beberapa hari lalu tanpa pernah menemuinya. Ia tiba di rumahnya penuh air mata. Hatinya terluka. Sedangkan Albert tidak pernah tau jika rahasia tujuananya kepada Agnes telah dibongkar oleh Hendra. Ia memang tak pernah mengunjungi Agnes untuk beberapa hari karena kekasih barunya selalu ingin ditemanin setiap saat.

***

Agnes merawat burung kecil itu hingga kembali normal. Ia pun berpikir untuk mengembalikan burung itu ke rumah kecilnya. Ketika ia mencoba memanjat ke rumah pohon itu ia terjatuh. Albert tiba tiba muncul dan menolongnya. Namun Agnes mendorong tubuhnya dengan wajah marah. Albert menjadi bingung.

"Kok kamu marah, kenapa?"



Agnes tidak berkata apapun. Ia pergi begitu saja meninggalkan Albert. Tanpa sadar ketika terjatuh. Liontin anting yang Agnes pake terjatuh satu di lantai. Albet mengambilnya lalu mengejar gadis itu yang sedang berjalan dengan kaki kesakitan. Albert berusaha memanggil Agnes. Namun ia tidak mengerti mengapa gadis itu marah padanya. Ia pun menghentikan langkah gadis tersebut. Agnes mengeluarkan sebuah tulisan.

"Aku memang cacat. Tapi aku ga bodoh. Aku bukan mainan yang bisa kamu gunakan buat acara Valentine kamu sebagai wanita pajangan! Terlebih buat taruhan kamu sama temen kamu!!"



Albert sontak kaget ketika rahasia yang ia simpan rapat. Ia melihat Agnes menangis dan hatinya merasa tak enak. Lalu membiarkan gadis itu pergi. Ketika gadis itu semakin menjauh ia menyadari kesalahanya. Lalu berteriak

"Nes.. sorry. Sorry!"



Agnes terhenti , namun hatinya terlanjur sakit. Ia pun meninggalkan pria itu seorang diri. Albert menatap liontin anting di tangannya. Ia merasa tidak pantas untuk bicara dengannya. Kemudian kembali ke rumah pohon kecil burung tersebut. Ia pun ingin menembus kesalahannya terhadap Agnes. Rumah pohon itu tampak rusak karena dibangun seadanya. Ia pun ingin memberikan hadian kepada Agnes dengan membuat rumah baru untuk burung-burung yang akan hidup di sana.

Albert pun menjadi sibuk setiap harinya. Dengan penuh perjuangan ia membangun rumah tersebut. Dan berhasil dengan sempurna tiga hari kemudian. Rumah burung di atas pohon itu menjadi indah dan rapi. Ia pun segera menuju rumah Agnes. Agnes sesungguhnya selalu memperhatikan apa yang dilakukan Albert setiap harinya. Ia menyadari laki laki itu tidak seburuk yang ia pikir. Namun ia sadar kepergiannya sesaat lagi akan tiba. Ia pun sadar dirinya yang cacat dan bisu hanya menjadi celahan Albert.

Ia pun meminta pembantunya untuk bilang kepada Albert kalau ia telah kembali ke kampung halamannya. Albert tampak shock mendengarkan kepergian gadis itu begitu cepat. Ia termenung bersalah, kemudian memberikan liontin anting yang dijatuhkan Agnes kepada pembantunya agar diberikan kelak bila bertemu kembali. Dengan air mata yang jatuh membasahi pipi. Agnes pun menatap kepergian Albert penuh duka. Albert pun kembali ke rumah dengan perasaaan sedih.



Beberapa hari kemudian Jepang datang menginvasi Indonesia. Daerah tempat tinggal Albert menjadi salah satu konflik. Ia pun harus segera mengungsi bersama orang tuanya. Sebelum ia pergi ia sempatkan untuk melihat rumah burung kecil di atas pohon. Tampak burung kecil itu menjadi dewasa dan hendak terbang. Dan ia menemukan sesuatu di rumah tersebut.

Sebuah liontin anting yang ia titipkan kepada sang pembantu dan sebuah surat kecil tulisan Agnes.

"Terima kasih atas rumah kecil ini. Kelak mungkin kita tidak akan pernah sadar kita adalah sebuah takdir. Simpanlah satu liotin ini sebagai kenangan terakhir yang bisa kuberikan kepadamu. Jika kita berumur panjang kita akan bertemu, jika tidak biarkan kehidupan lain menanti kita. Satu di hatiku. Satu di hatimu untuk selamanya"

Albert menangis dengan berat hati ia menyimpan liontin tersebut. Dan ia pun mengungsi untuk selamat dari perperangan. Agnes pun menghilang dengan selamanya. Sejak saat itu mereka tidak pernah bertemu. Setelah perang usai. Albert pergi ke Belanda untuk kuliah dan kembali dengan menikahi seorang wanita yang akhirnya menjadi nenek Angel. Ia tak pernah menyadari liontin itu tersimpan dan masih ada hingga ia membersihan isi gudangnya.

*****

Kembali ke masa kini.

Angel tanpa terasa menitikkan air mata ketika mendengarkan kisah kakeknya. Tidak seperti biasa ia selalu mengantuk ataupun beralasan untuk tidak pernah niat untuk mendengar. Kali ini kisah tersebut telah meruntuhkan sanubarinya untuk mendengar kisah tragis cinta tersebut. Hanya satu pertanyaan yang bisa ia berikan kepada sang kakek.

"Kakek apa yang akan kakek lakukan bila bisa bertemu Agnes lagi"

"Itu tidak mungkin.. dia mungkin telah meninggal usia kakek sudah 70an sekarang, ketika dulu ia lebih tua 3 tahun dari kakek. Mungkin telah meninggal. "

"Ya.. jawab dong kalau andai saja!"

"Ok. Kakek mau bilang satu hal sama dia. Kisah Valentine antara kakek dengan dia adalah kisah terakhir yang paling indah dalam hidup kakek. Karena itulah Valentine pertama kakek"



Angel memeluk kakeknya. ia begitu terharu terhadap kisah cinta sang kakek.

***

Beberapa tahun kemudian Angel mendapatkan seorang laki laki yang ia cintai dan akhirnya menikah. Dalam sebuah undangan yang tak terduga, datang seorang wanita tua dengan sebuah tongkat di tangannya bersama sang cucu. Nenek itu mengenakan kalung yang tak asing bagi Angel. Nenek itu memberikan ucapan selamat. Angel hanya memandang nenek itu seperti asing namun tidak pada kalung ya ia gunakan.

Kakek yang duduk di kursi paling ujung. Mendapatkan giliran untuk bersalaman. Kakek melihat dengan jelas liontin yang nenek itu pake. Air matanya terhanyut begitu saja. Sang nenek bertanya kepada cucu itu melalui cucunya yang mengerti bahasa isyarat tangan dari sang nenek.



"Kakek, nenek saya ingin berkata sesuatu pada kakek "

"Apa nak?"

"Kakek sudah tua tak perlu malu menangis di hadapan anak anak muda hehehe" ledek nenek itu

"Siapa nama nenekmu?"

"Agnes.."



Tamat
Aditya dan Ardian… dua nama itulah yang selama 3 bulan terakhir mengisi hari-hariku.

Ardian…
Dia datang pada saat dimana aku sedang merasa sangat kehilangan, hari-hariku sedang membosankan dan menyedihkan. Aku baru saja putus cinta. Awal aku mengenalnya karena tidak sengaja mengirim sms. Setelah itu kami sering bertukar cerita, bertelpon ria.
Entahlah, aku tidak tahu kapan cinta itu hadir dalam hatiku dan aku juga tak mengerti mengapa cinta itu datang begitu cepat. Dan yang lebih aku tak mengerti mengapa aku harus mencintainya, padahal kita tak pernah bertemu.

Aneh bukan? Tapi itulah cinta, bila cinta tidak gila itu tidak dikatakan cinta…
Cinta itu harus gila.

Entahlah, apakah dia merasa hal yang sama dengan apa yang kurasa? Aku tak tahu. Hubunganku dengan ardian tak pasti, bertemankah atau berpacarankah…
Berteman…mungkin dia akan jadi seorang teman yang baik, yang selalu mau mendengar keluh kesahku setiap hari
Berpacaran…mungkin dia akan jadi seorang pacar yang setia,
Berteman atau berpacaran aku tak peduli. Aku merasa nyaman… mendengar suaranya dan mendengar tawanya, dia selalu menjalani kehidupannya dengan santai, seolah dia tidak pernah merencanakan hidupnya esok akan bagaimana, dia biarkan hidupnya mengalir. Tapi itulah yang ku suka, tapi hal itu pula yang pada akhirnya membuat aku benci.

Ardian datang lebih awal daripada adit, mungkin jika adit datang lebih awal, aku akan jatuh cinta padanya.

Aditya…
Aku mengenalnya karena perjodohan orang tua. Saat itu aku sedang menikmati kedekatanku dengan ardian.
Entahlah, aku tidak tahu kapan cinta itu datang di hati adit, aku tak mengerti mengapa adit sangat ingin menikah denganku, padahal perkenalan ini amat singkat. Entahlah, apakah aku merasa hal yang sama dengan adit? Aku tak tahu. Tapi yang pasti aku kagum akan kegigihan dan perhatian dia.

Hubunganku dengan adit juga tak pasti, yang pasti aku pernah menyakitinya karena aku menolaknya

Tapi hingga saat ini seolah dia tak menyerah untuk mengejarku..
Atau mungkin karena target hidup dia yang sudah tersusun rapi dari tahun ketahun. Dia manargetkan menikah pada tahun ini, pada usia dia yang ke 27. itulah adit, dia selalu menyusun rencana hidupnya jauh kedepan. Bahkan 10 tahun, 20 tahun kedepan sudah disusunnya secara terperinci. Tapi itulah yang membuat aku menolaknya, aku belum lama mengenalnya, aku pernah bertanya padanya, apakah saat dia menulis target hidupnya untuk menikah tahun ini, dia membayangkan wanita yang akan di nikahi itu siapa? Aku yakin, wanita yang dia bayangkan bukan aku, tapi orang lain, entah aku tak pernah mau tahu siapa wanita itu. Aku tak pernah ada dalam rencana hidup dia, karena perkenalan kita masih sangat singkat, tapi mengapa harus aku yang harus terjebak dalam target hidupnya?

Sungguh adit dan ardian adalah dua pribadi yang bertolak belakang, walaupun inisial nama mereka sama

Aku adalah seorang wanita, yang selama 3 bulan ini dilema dengan perasaanku sendiri. Secara jelas aku menjelaskan perasaanku terhadap 2 laki-laki itu pada perkenalan mereka. Aku seorang yang sangat simple dalam hal mencintai seseorang, aku selalu jatuh cinta karena hal-hal yang sederhana, tapi seringkali jatuh cinta tanpa sebuah alasan. Kadang perasaan itu datang tanpa aku tahu dan mengapa harus pada orang tersebut.

Aku sudah bosan menjalani kegagalan perjalanan cintaku, beberapa bulan sebelum aku mengenal ardian dan adit, aku memutuskan untuk menyerahkan kepada orangtuaku utuk memilih seseorang untukku, oleh karena itu mereka mengenalkanku pada adit, anak seorang teman bapak. Karena sudah terlanjur berjanji akan mencoba untuk menerima siapapun yang mereka pilih aku menyetujui untuk bertemu dan mencoba untuk mengenalnya.

Selama beberapa bulan aku mengenal mereka, aku semakin yakin akan perasaanku. Tapi saat aku menolak lamaran adit, keadaan sudah terbalik, ardian tidak lagi menginginkan aku menjadi bagian hidupnya. Aku tak tahu apakah alasan yang dia berikan adalah benar atau tidak, aku tak tahu. Saat aku menolak adit, banyak yang terluka, mama, bapak, adit, mbak tanti bahkan mungkin yang paling terluka adalah aku. Aku hanya memikirkan dan mengikuti perasaanku tanpa mau peduli perasaan orang lain, tapi apa yang aku dapat??? sekuat apapun aku meyakini perasaanku terhadapnya, toh sekarang dia mengabaikannya. Mungkin ini karma untukku…

Aku ingin sekali melupakan 2 nama itu dalam hidupku. Karena mereka membuat aku pusing. Aku merasakan apa yang adit rasa, aku merasakan bagaimana rasanya diabaikan, mengharapkan sesuatu yang tak pasti, tapi aku juga tak ingin mengabaikan perasaanku, karena hubunganku dengan ardian tak seperti yang aku harapkan. Dengan jelas dia mengatakan tidak mencintaiku, dia mungkin hanya mengganggap aku sekedar teman, seorang teman yang kesepian. Kisah ini bagaikan kisah cinta segitiga yang tak berujung. Jika aku tetap mementingkan perasaanku, ada seseorang yang terluka. Dan jika aku menerima cinta adit, aku sendiri yang akan terluka. Sampai akhirnya aku harus memutus untuk melupakan keduanya, agar tak ada yang merasa menang, agar semua merasakan perih yang sama. Tapi mungkin perih itu hanya untukku dan adit, karena kami sama-sama melibatkan perasaan yang dalam…

Entah apa yang aku harus ku ucapkan dipenghujung kisah ini, maaf atau terimakasih, yang pasti aku mendapatkan satu pelajaran yang sangat berharga dari kisah ini, aku akan mengucapakan 2 kata itu sebagai kata terakhirku. Maaf untuk semua yang secara sengaja atau tidak sengaja terluka karena masalah ini, untuk mama n bapak, maaf jika masalah ini membuat suasana kita sedikit berkurang keharmonisannya, maaf untuk adit yang sangat jelas terluka, maaf untuk ardian karena aku memaksakan sesuatu yang sudah pasti ku tahu itu tak mungkin.

Terimakasih untuk semua yang telah ikut mengukir sebuah kisah ini untukku.

Saat ini aku sedang mencoba untuk mengistirahatkan hati dan pikiranku, aku harus berusaha agar aku tak berkubang lagi pada kisah yang sama dan orang yang sama… walau sulit, aku harus bisa merelakan dan melupakan semua…
Aku ingin menuliskan sebuah puisi sebagai akhir dari kisah ini…

Mencinta…(ku menunggu)

Kadang, Tuhan yang mengetahui yang terbaik
Akan memberi kesusahan untuk menguji kita
Kadang, Ia pun melukai hati kita
Supaya hikmahnya bisa tertanam amat dalam
Jika kita kehilangan cinta..
Maka ada alasan dibaliknya
Alasan yang kadang sulit untuk dimengerti
Namum kita tetap harus percaya
Bahwa ketika ia akan mengambil sesuatu
Ia telah siap memberi yang lebih baik…
MENGAPA MENUNGGU????
Karena walaupun kita ingin mengambil keputusan
Kita tak ingin tergesa-gesa…
KARENA…..
Walaupun kita ingin cepat-cepat, kita tak ingin sembrono…
KARENA…..
Walaupun kita ingin segera menemukan orang yang kita cintai…
Kita tak ingin kehilangan jati diri kita dalam proses pencarian cinta
Jika ingin berlari, belajarlah berjalan dahulu
Jika ingin berenang, belajarlah mengapung dahulu
Jika ingin dicintai, belajarlah mencintai dahulu…
BAGIKU….
Lebih baik menunggu orang yang kita inginkan…
Ketimbang memilih apa yang ada
Tetap lebih baik menunggu orang yang kita cintai
Ketimbang memuaskan diri dengan apa yang ada
Tetap lebih baik menunggu orang yang tepat
Karena hidupku terlampau singkat untuk dilewatkan bersama
PILIHAN YANG SALAH
Karena menunggu mempunyai tujuan yang mulia dan misterius
PERLU KAU KETAHUI
Bahwa bunga tidak mekar dalam semalam
Kehidupan dirajut dalam rahim selama 9 bulan
Cinta yang agung terus tumbuh selama kehidupan ini
Walaupun menunggu membutuhkan banyak hal iman, keberanian dan pengharapan….
Penantian menjanjikan satu hal yang tidak dapat seorangpun bayangkan
PADA AKHIRNYA TUHAN…
Dalam segala hikmah dan kasihnya….
Meminta kita menunggu….
KARENA…
Alasan yang penting!!!!!!

Valentine, Kisah Pengorbanan si Pendeta Baik hati

Di berbagai belahan dunia, orang beramai-ramai mengamini bahwa tanggal 14 Februari adalah hari Velentine. Di Indonesia pun, para warganya turut menyambut gembira datangnya hari kasih sayang ini, meskipun sebenarnya mereka tak tahu pasti mengapa harus ikt merayakan hari tersebut.

Bukankah untuk menunjukkan rasa sayang kita terhadap teman, kekasih ataupun keluarga kita tak perlu menunggu datangnya tanggal 14 februari, kita bisa menunjukkannya setiap hari. Kita juga tak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membeli coklat, bunga dan pernak-pernik lainnya untuk menunjukkan rasa sayang kita, cukup dengan perhatian yang tulus.

Terlepas dari itu semua, marilah kita kupas secara detail keistimewaan hari Valentine yang kedatangannya selalu membuat dunia menjadi serba merah muda. Beberapa para ahli mengatakan bahwa asal mula Valentine itu berkaitan dengan St. Valentine. Ia adalah seorang pria Roma yang menolak melepaskan agama Kristen yang diyakininya.

Ia meninggal pada 14 Februari 269 Masehi, bertepatan dengan hari yang dipilih sebagai pelaksaan 'undian cinta'. Legenda juga mengatakan bahwa St. Valentine sempat meninggalkan ucapan selamat tinggal kepada putri seorang narapidana yang bersahabat dengannya. Di akhir pesan itu, ia menuliskan : "Dari Valentinemu".

Sementara itu sebuah cerita lain mengatakan bahwa Saint Valentine adalah seorang pria yang membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan di sebuah kuil pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Ia dipenjarakan atas kelancangannya membantah titah sang kaisar. Baru pada tahun 496 Masehi, pendeta Gelasius menetapkan 14 Februari sebagai hari penghormatan bagi Valentine.

Akhirnya secara bertahap 14 Februari menjadi hari khusus untuk bertukar surat cinta dan St. Valentine menjadi idola para pecinta. Datangnya tanggal itu ditandai dengan pengiriman puisi cinta dan hadiah sederhana, semisal bunga. Sering juga untuk merayakan hari kasih sayang ini dilakukan acara pertemuan besar atau bahkan permainan bola.

Di AS, Miss Esther Howland tercatat sebagai orang pertama yang mengirimkan kartu valentine pertama. Acara Valentine mulai dirayakan besar-besaran semenjak tahun 1800 dan pada perkembangannya, kini acara ini menjadi sebuah ajang bisnis yang menguntungkan.

Perlahan semarak hari kasih sayang ini merebak keluar dan menular pada masyarakat di seluruh dunia dibumbui dengan versi sentimentak tentang makna valentine itu sendiri. Bahkan anak-anak kecil pun tertular dengan wabah ini, mereka saling berkirim kartu dengan teman-temannya di sekolah untuk menunjukkan rasa sayang mereka.

Sejarah Hari Valentine

Asal mula hari Valentine tercipta pada jaman kerajaan Romawi. Menurut adat Romawi, 14 Februari adalah hari untuk menghormati Juno. Ia adalah ratu para dewa dewi Romawi. Rakyat Romawi juga menyebutnya sebagai dewi pernikahan. Di hari berikutnya, 15 Februari dimulailah perayaan 'Feast of Lupercalia.'

Pada masa itu, kehidupan belum seperti sekarang ini, para gadis dilarang berhubungan dengan para pria. Pada malam menjelang festival Lupercalia berlangsung, nama-nama para gadis ditulis di selembar kertas dan kemudian dimasukkan ke dalam gelas kaca. Nantinya para pria harus mengambil satu kertas yang berisikan nama seorang gadis yang akan menjadi teman kencannya di festival itu.

Tak jarang pasangan ini akhirnya saling jatuh cinta satu sama lain, berpacaran selama beberapa tahun sebelum akhirnya menikah. Dibawah pemerintahan Kaisar Claudius II, Romawi terlibat dalam peperangan. Claudius yang dijuluki si kaisar kejam kesulitan merekrut pemuda untuk memperkuat armada perangnya.

Ia yakin bahwa para pria Romawi enggan masuk tentara karena berat meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Akhirnya ia memerintahkan untuk membatalkan semua pernikahan dan pertunangan di Romawi. Saint Valentine yang saat itu menjadi pendeta terkenal di Romawi menolak perintah ini.

Ia bersama Saint Marius secara sembunyi-sembunyi menikahkan para pasangan yang sedang jatuh cinta. Namun aksi mereka diketahui sang kaisar yang segera memerintahkan pengawalnya untuk menyeret dan memenggal pendeta baik hati tersebut.

Ia meninggal tepat pada hari keempat belas di bulan Februari pada tahun 270 Masehi. Saat itu rakyat Romawi telah mengenal Februari sebagai festival Lupercalia, tradisi untuk memuja para dewa. Dalam tradisi ini para pria diperbolehkan memilih gadis untuk pasangan sehari.

Dan karena Lupercalia mulai pada pertengahan bulan Februari, para pastor memilih nama Hari Santo Valentinus untuk menggantikan nama perayaan itu. Sejak itu mulailah para pria memilih gadis yang diinginkannya bertepatan pada hari Valentine.

Kisah St. Valentine

Valentine adalah seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ketiga. Ia hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal kejam. Ia sangat membenci kaisar tersebut, dan ia bukan satu-satunya. Claudius berambisi memiliki pasukan militer yang besar, ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya.

Namun sayangnya keinginan ini bertepuk sebelah tangan. Para pria enggan terlibat dalam perang. Karena mereka tak ingin meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Hal ini membuat Claudius sangat marah, ia pun segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.

Ia berfikir bahwa jika pria tak menikah, mereka akan dengan sennag hati bergabung dengan militer. Lalu Claudius melarang adanya pernikahan. Para pasangan muda menganggap keputusan ini sangat tidak manusiawi. Karena menganggap ini adalah ide aneh, St. Valentine menolak untuk melaksanakannya.

Ia tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang tengah jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi ini diketahui kaisar yang segera memberinya peringatan, namun ia tak bergeming dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin, tanpa bunga, tanpa kidung pernikahan.

Hingga suatu malam, ia tertangkap basah memberkati sebuah pasangan. Pasangan itu berhasil melarikan diri, namun malang ia tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis mati. Bukannya dihina, ia malah dikunjungi banyak orang yang mendukung aksinya. Mereka melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara.

Salah satu dari orang-orang yang percaya pada cinta itu adalah putri penjaga penjara. Sang ayah mengijinkannya untuk mengunjungi St. Valentine di penjara. Tak jarang mereka berbicara selama berjam-jam. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta itu. Ia setuju bahwa St. Valentine telah melakukan hal yang benar.

Di hari saat ia dipenggal,14 Februari, ia menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan untuk gadis itu atas semua perhatian, dukungan dan bantuannya selama ia dipenjara. Diakhir pesan itu, ia menuliskan : "Dengan Cinta dari Valentinemu."

Pesan itulah yang kemudian merubah segalanya. Kini setiap tanggal 14 Februari orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Orang-orang yang merayakan hari itu mengingat St. Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta.

Tradisi Valentine

-- Selama beberapa tahun di Inggris, banyak anak kecil di dandani layaknya anak dewasa pada hari Valentine. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah sambil bernyanyi.

-- Di Wales, para pemuda akan menghadiahkan sendok kayu pada kekasihnya pada hari kasih sayang itu. Bentuk hati dan kunci adalah hiasan paling favorit untuk diukir di atas sendok kayu tersebut.

-- Pada jaman Romawi kuno, para gadis menuliskan namanya di kertas dan memasukkan ke dalam botol. lalu para pria akan mengambil sah satu kertas tersebut untuk melihat siapakan yang akan menjadi pasangan mereka dalam festifal tersebut.

-- Di Negara yang sama, para gadis akan menerima hadiah berupa busana dari para pria. Jika ia menerima hadiah tersebut, ini pertanda ia bersedia dinikahi pria tersebut.

-- Beberapa orang meyakini bahwa jika mereka melihat robin melayang di udara saat hari Valentine, ini berarti ia akan menikah dengan seorang pelaut. Sementara jika seorang wanita melihat burung pipit, maka mereka akan menikah dengan seorang pria miskin. Namun mereka akan hidup bahagia. Sementara jika mereka melihat burung gereja maka mereka akan menikah dengan jutawan.

-- Sebuah kursi cinta adalah kursi yang lebar. Awalnya kursi ini dibuat untuk tempat duduk seorang wanita (jaman dahulu wanita mengenakan busana yang sangat lebar). Belakangan kursi cinta dibuat untuk tempat duduk dua orang. dengan cara ini sepasang kekasih bisa duduk berdampingan.

-- Pikirkan lima atau enam nama pria (jika anda wanita) atau lima atau enam nama wanita (jika anda pria) yang ingin anda nikahi. Lalu putralah setangkai apel sambil menyebut nama tersebut satu persatu. Anda akan menikah dengan nama yang anda sebut saat tangkai tersebut lepas dari buahnya.

-- Petiklah sekuntum bungan dandelion yang tengah mengembang. Tiuplah putik-putik pada bunga tersebut, lalu hitunglah putik yang tersisa. Itu adalah jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah.

-- Jika anda memotong sebuah apel pada tengahnya dan menghitung jumlah biji di dalamnya, ini juga bisa menunjukkan jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah. (love/tutut)

Valentine, Kisah Pengorbanan si Pendeta Baik hati

Di berbagai belahan dunia, orang beramai-ramai mengamini bahwa tanggal 14 Februari adalah hari Velentine. Di Indonesia pun, para warganya turut menyambut gembira datangnya hari kasih sayang ini, meskipun sebenarnya mereka tak tahu pasti mengapa harus ikt merayakan hari tersebut.

Bukankah untuk menunjukkan rasa sayang kita terhadap teman, kekasih ataupun keluarga kita tak perlu menunggu datangnya tanggal 14 februari, kita bisa menunjukkannya setiap hari. Kita juga tak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membeli coklat, bunga dan pernak-pernik lainnya untuk menunjukkan rasa sayang kita, cukup dengan perhatian yang tulus.

Terlepas dari itu semua, marilah kita kupas secara detail keistimewaan hari Valentine yang kedatangannya selalu membuat dunia menjadi serba merah muda. Beberapa para ahli mengatakan bahwa asal mula Valentine itu berkaitan dengan St. Valentine. Ia adalah seorang pria Roma yang menolak melepaskan agama Kristen yang diyakininya.

Ia meninggal pada 14 Februari 269 Masehi, bertepatan dengan hari yang dipilih sebagai pelaksaan 'undian cinta'. Legenda juga mengatakan bahwa St. Valentine sempat meninggalkan ucapan selamat tinggal kepada putri seorang narapidana yang bersahabat dengannya. Di akhir pesan itu, ia menuliskan : "Dari Valentinemu".

Sementara itu sebuah cerita lain mengatakan bahwa Saint Valentine adalah seorang pria yang membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan di sebuah kuil pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Ia dipenjarakan atas kelancangannya membantah titah sang kaisar. Baru pada tahun 496 Masehi, pendeta Gelasius menetapkan 14 Februari sebagai hari penghormatan bagi Valentine.

Akhirnya secara bertahap 14 Februari menjadi hari khusus untuk bertukar surat cinta dan St. Valentine menjadi idola para pecinta. Datangnya tanggal itu ditandai dengan pengiriman puisi cinta dan hadiah sederhana, semisal bunga. Sering juga untuk merayakan hari kasih sayang ini dilakukan acara pertemuan besar atau bahkan permainan bola.

Di AS, Miss Esther Howland tercatat sebagai orang pertama yang mengirimkan kartu valentine pertama. Acara Valentine mulai dirayakan besar-besaran semenjak tahun 1800 dan pada perkembangannya, kini acara ini menjadi sebuah ajang bisnis yang menguntungkan.

Perlahan semarak hari kasih sayang ini merebak keluar dan menular pada masyarakat di seluruh dunia dibumbui dengan versi sentimentak tentang makna valentine itu sendiri. Bahkan anak-anak kecil pun tertular dengan wabah ini, mereka saling berkirim kartu dengan teman-temannya di sekolah untuk menunjukkan rasa sayang mereka.

Sejarah Hari Valentine

Asal mula hari Valentine tercipta pada jaman kerajaan Romawi. Menurut adat Romawi, 14 Februari adalah hari untuk menghormati Juno. Ia adalah ratu para dewa dewi Romawi. Rakyat Romawi juga menyebutnya sebagai dewi pernikahan. Di hari berikutnya, 15 Februari dimulailah perayaan 'Feast of Lupercalia.'

Pada masa itu, kehidupan belum seperti sekarang ini, para gadis dilarang berhubungan dengan para pria. Pada malam menjelang festival Lupercalia berlangsung, nama-nama para gadis ditulis di selembar kertas dan kemudian dimasukkan ke dalam gelas kaca. Nantinya para pria harus mengambil satu kertas yang berisikan nama seorang gadis yang akan menjadi teman kencannya di festival itu.

Tak jarang pasangan ini akhirnya saling jatuh cinta satu sama lain, berpacaran selama beberapa tahun sebelum akhirnya menikah. Dibawah pemerintahan Kaisar Claudius II, Romawi terlibat dalam peperangan. Claudius yang dijuluki si kaisar kejam kesulitan merekrut pemuda untuk memperkuat armada perangnya.

Ia yakin bahwa para pria Romawi enggan masuk tentara karena berat meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Akhirnya ia memerintahkan untuk membatalkan semua pernikahan dan pertunangan di Romawi. Saint Valentine yang saat itu menjadi pendeta terkenal di Romawi menolak perintah ini.

Ia bersama Saint Marius secara sembunyi-sembunyi menikahkan para pasangan yang sedang jatuh cinta. Namun aksi mereka diketahui sang kaisar yang segera memerintahkan pengawalnya untuk menyeret dan memenggal pendeta baik hati tersebut.

Ia meninggal tepat pada hari keempat belas di bulan Februari pada tahun 270 Masehi. Saat itu rakyat Romawi telah mengenal Februari sebagai festival Lupercalia, tradisi untuk memuja para dewa. Dalam tradisi ini para pria diperbolehkan memilih gadis untuk pasangan sehari.

Dan karena Lupercalia mulai pada pertengahan bulan Februari, para pastor memilih nama Hari Santo Valentinus untuk menggantikan nama perayaan itu. Sejak itu mulailah para pria memilih gadis yang diinginkannya bertepatan pada hari Valentine.

Kisah St. Valentine

Valentine adalah seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ketiga. Ia hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal kejam. Ia sangat membenci kaisar tersebut, dan ia bukan satu-satunya. Claudius berambisi memiliki pasukan militer yang besar, ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya.

Namun sayangnya keinginan ini bertepuk sebelah tangan. Para pria enggan terlibat dalam perang. Karena mereka tak ingin meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Hal ini membuat Claudius sangat marah, ia pun segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.

Ia berfikir bahwa jika pria tak menikah, mereka akan dengan sennag hati bergabung dengan militer. Lalu Claudius melarang adanya pernikahan. Para pasangan muda menganggap keputusan ini sangat tidak manusiawi. Karena menganggap ini adalah ide aneh, St. Valentine menolak untuk melaksanakannya.

Ia tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang tengah jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi ini diketahui kaisar yang segera memberinya peringatan, namun ia tak bergeming dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin, tanpa bunga, tanpa kidung pernikahan.

Hingga suatu malam, ia tertangkap basah memberkati sebuah pasangan. Pasangan itu berhasil melarikan diri, namun malang ia tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis mati. Bukannya dihina, ia malah dikunjungi banyak orang yang mendukung aksinya. Mereka melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara.

Salah satu dari orang-orang yang percaya pada cinta itu adalah putri penjaga penjara. Sang ayah mengijinkannya untuk mengunjungi St. Valentine di penjara. Tak jarang mereka berbicara selama berjam-jam. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta itu. Ia setuju bahwa St. Valentine telah melakukan hal yang benar.

Di hari saat ia dipenggal,14 Februari, ia menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan untuk gadis itu atas semua perhatian, dukungan dan bantuannya selama ia dipenjara. Diakhir pesan itu, ia menuliskan : "Dengan Cinta dari Valentinemu."

Pesan itulah yang kemudian merubah segalanya. Kini setiap tanggal 14 Februari orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Orang-orang yang merayakan hari itu mengingat St. Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta.

Tradisi Valentine

-- Selama beberapa tahun di Inggris, banyak anak kecil di dandani layaknya anak dewasa pada hari Valentine. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah sambil bernyanyi.

-- Di Wales, para pemuda akan menghadiahkan sendok kayu pada kekasihnya pada hari kasih sayang itu. Bentuk hati dan kunci adalah hiasan paling favorit untuk diukir di atas sendok kayu tersebut.

-- Pada jaman Romawi kuno, para gadis menuliskan namanya di kertas dan memasukkan ke dalam botol. lalu para pria akan mengambil sah satu kertas tersebut untuk melihat siapakan yang akan menjadi pasangan mereka dalam festifal tersebut.

-- Di Negara yang sama, para gadis akan menerima hadiah berupa busana dari para pria. Jika ia menerima hadiah tersebut, ini pertanda ia bersedia dinikahi pria tersebut.

-- Beberapa orang meyakini bahwa jika mereka melihat robin melayang di udara saat hari Valentine, ini berarti ia akan menikah dengan seorang pelaut. Sementara jika seorang wanita melihat burung pipit, maka mereka akan menikah dengan seorang pria miskin. Namun mereka akan hidup bahagia. Sementara jika mereka melihat burung gereja maka mereka akan menikah dengan jutawan.

-- Sebuah kursi cinta adalah kursi yang lebar. Awalnya kursi ini dibuat untuk tempat duduk seorang wanita (jaman dahulu wanita mengenakan busana yang sangat lebar). Belakangan kursi cinta dibuat untuk tempat duduk dua orang. dengan cara ini sepasang kekasih bisa duduk berdampingan.

-- Pikirkan lima atau enam nama pria (jika anda wanita) atau lima atau enam nama wanita (jika anda pria) yang ingin anda nikahi. Lalu putralah setangkai apel sambil menyebut nama tersebut satu persatu. Anda akan menikah dengan nama yang anda sebut saat tangkai tersebut lepas dari buahnya.

-- Petiklah sekuntum bungan dandelion yang tengah mengembang. Tiuplah putik-putik pada bunga tersebut, lalu hitunglah putik yang tersisa. Itu adalah jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah.

-- Jika anda memotong sebuah apel pada tengahnya dan menghitung jumlah biji di dalamnya, ini juga bisa menunjukkan jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah. (love/tutut)

Valentine, Kisah Pengorbanan si Pendeta Baik hati

Di berbagai belahan dunia, orang beramai-ramai mengamini bahwa tanggal 14 Februari adalah hari Velentine. Di Indonesia pun, para warganya turut menyambut gembira datangnya hari kasih sayang ini, meskipun sebenarnya mereka tak tahu pasti mengapa harus ikt merayakan hari tersebut.

Bukankah untuk menunjukkan rasa sayang kita terhadap teman, kekasih ataupun keluarga kita tak perlu menunggu datangnya tanggal 14 februari, kita bisa menunjukkannya setiap hari. Kita juga tak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membeli coklat, bunga dan pernak-pernik lainnya untuk menunjukkan rasa sayang kita, cukup dengan perhatian yang tulus.

Terlepas dari itu semua, marilah kita kupas secara detail keistimewaan hari Valentine yang kedatangannya selalu membuat dunia menjadi serba merah muda. Beberapa para ahli mengatakan bahwa asal mula Valentine itu berkaitan dengan St. Valentine. Ia adalah seorang pria Roma yang menolak melepaskan agama Kristen yang diyakininya.

Ia meninggal pada 14 Februari 269 Masehi, bertepatan dengan hari yang dipilih sebagai pelaksaan 'undian cinta'. Legenda juga mengatakan bahwa St. Valentine sempat meninggalkan ucapan selamat tinggal kepada putri seorang narapidana yang bersahabat dengannya. Di akhir pesan itu, ia menuliskan : "Dari Valentinemu".

Sementara itu sebuah cerita lain mengatakan bahwa Saint Valentine adalah seorang pria yang membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan di sebuah kuil pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Ia dipenjarakan atas kelancangannya membantah titah sang kaisar. Baru pada tahun 496 Masehi, pendeta Gelasius menetapkan 14 Februari sebagai hari penghormatan bagi Valentine.

Akhirnya secara bertahap 14 Februari menjadi hari khusus untuk bertukar surat cinta dan St. Valentine menjadi idola para pecinta. Datangnya tanggal itu ditandai dengan pengiriman puisi cinta dan hadiah sederhana, semisal bunga. Sering juga untuk merayakan hari kasih sayang ini dilakukan acara pertemuan besar atau bahkan permainan bola.

Di AS, Miss Esther Howland tercatat sebagai orang pertama yang mengirimkan kartu valentine pertama. Acara Valentine mulai dirayakan besar-besaran semenjak tahun 1800 dan pada perkembangannya, kini acara ini menjadi sebuah ajang bisnis yang menguntungkan.

Perlahan semarak hari kasih sayang ini merebak keluar dan menular pada masyarakat di seluruh dunia dibumbui dengan versi sentimentak tentang makna valentine itu sendiri. Bahkan anak-anak kecil pun tertular dengan wabah ini, mereka saling berkirim kartu dengan teman-temannya di sekolah untuk menunjukkan rasa sayang mereka.

Sejarah Hari Valentine

Asal mula hari Valentine tercipta pada jaman kerajaan Romawi. Menurut adat Romawi, 14 Februari adalah hari untuk menghormati Juno. Ia adalah ratu para dewa dewi Romawi. Rakyat Romawi juga menyebutnya sebagai dewi pernikahan. Di hari berikutnya, 15 Februari dimulailah perayaan 'Feast of Lupercalia.'

Pada masa itu, kehidupan belum seperti sekarang ini, para gadis dilarang berhubungan dengan para pria. Pada malam menjelang festival Lupercalia berlangsung, nama-nama para gadis ditulis di selembar kertas dan kemudian dimasukkan ke dalam gelas kaca. Nantinya para pria harus mengambil satu kertas yang berisikan nama seorang gadis yang akan menjadi teman kencannya di festival itu.

Tak jarang pasangan ini akhirnya saling jatuh cinta satu sama lain, berpacaran selama beberapa tahun sebelum akhirnya menikah. Dibawah pemerintahan Kaisar Claudius II, Romawi terlibat dalam peperangan. Claudius yang dijuluki si kaisar kejam kesulitan merekrut pemuda untuk memperkuat armada perangnya.

Ia yakin bahwa para pria Romawi enggan masuk tentara karena berat meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Akhirnya ia memerintahkan untuk membatalkan semua pernikahan dan pertunangan di Romawi. Saint Valentine yang saat itu menjadi pendeta terkenal di Romawi menolak perintah ini.

Ia bersama Saint Marius secara sembunyi-sembunyi menikahkan para pasangan yang sedang jatuh cinta. Namun aksi mereka diketahui sang kaisar yang segera memerintahkan pengawalnya untuk menyeret dan memenggal pendeta baik hati tersebut.

Ia meninggal tepat pada hari keempat belas di bulan Februari pada tahun 270 Masehi. Saat itu rakyat Romawi telah mengenal Februari sebagai festival Lupercalia, tradisi untuk memuja para dewa. Dalam tradisi ini para pria diperbolehkan memilih gadis untuk pasangan sehari.

Dan karena Lupercalia mulai pada pertengahan bulan Februari, para pastor memilih nama Hari Santo Valentinus untuk menggantikan nama perayaan itu. Sejak itu mulailah para pria memilih gadis yang diinginkannya bertepatan pada hari Valentine.

Kisah St. Valentine

Valentine adalah seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ketiga. Ia hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal kejam. Ia sangat membenci kaisar tersebut, dan ia bukan satu-satunya. Claudius berambisi memiliki pasukan militer yang besar, ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya.

Namun sayangnya keinginan ini bertepuk sebelah tangan. Para pria enggan terlibat dalam perang. Karena mereka tak ingin meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Hal ini membuat Claudius sangat marah, ia pun segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.

Ia berfikir bahwa jika pria tak menikah, mereka akan dengan sennag hati bergabung dengan militer. Lalu Claudius melarang adanya pernikahan. Para pasangan muda menganggap keputusan ini sangat tidak manusiawi. Karena menganggap ini adalah ide aneh, St. Valentine menolak untuk melaksanakannya.

Ia tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang tengah jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi ini diketahui kaisar yang segera memberinya peringatan, namun ia tak bergeming dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin, tanpa bunga, tanpa kidung pernikahan.

Hingga suatu malam, ia tertangkap basah memberkati sebuah pasangan. Pasangan itu berhasil melarikan diri, namun malang ia tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis mati. Bukannya dihina, ia malah dikunjungi banyak orang yang mendukung aksinya. Mereka melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara.

Salah satu dari orang-orang yang percaya pada cinta itu adalah putri penjaga penjara. Sang ayah mengijinkannya untuk mengunjungi St. Valentine di penjara. Tak jarang mereka berbicara selama berjam-jam. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta itu. Ia setuju bahwa St. Valentine telah melakukan hal yang benar.

Di hari saat ia dipenggal,14 Februari, ia menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan untuk gadis itu atas semua perhatian, dukungan dan bantuannya selama ia dipenjara. Diakhir pesan itu, ia menuliskan : "Dengan Cinta dari Valentinemu."

Pesan itulah yang kemudian merubah segalanya. Kini setiap tanggal 14 Februari orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Orang-orang yang merayakan hari itu mengingat St. Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta.

Tradisi Valentine

-- Selama beberapa tahun di Inggris, banyak anak kecil di dandani layaknya anak dewasa pada hari Valentine. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah sambil bernyanyi.

-- Di Wales, para pemuda akan menghadiahkan sendok kayu pada kekasihnya pada hari kasih sayang itu. Bentuk hati dan kunci adalah hiasan paling favorit untuk diukir di atas sendok kayu tersebut.

-- Pada jaman Romawi kuno, para gadis menuliskan namanya di kertas dan memasukkan ke dalam botol. lalu para pria akan mengambil sah satu kertas tersebut untuk melihat siapakan yang akan menjadi pasangan mereka dalam festifal tersebut.

-- Di Negara yang sama, para gadis akan menerima hadiah berupa busana dari para pria. Jika ia menerima hadiah tersebut, ini pertanda ia bersedia dinikahi pria tersebut.

-- Beberapa orang meyakini bahwa jika mereka melihat robin melayang di udara saat hari Valentine, ini berarti ia akan menikah dengan seorang pelaut. Sementara jika seorang wanita melihat burung pipit, maka mereka akan menikah dengan seorang pria miskin. Namun mereka akan hidup bahagia. Sementara jika mereka melihat burung gereja maka mereka akan menikah dengan jutawan.

-- Sebuah kursi cinta adalah kursi yang lebar. Awalnya kursi ini dibuat untuk tempat duduk seorang wanita (jaman dahulu wanita mengenakan busana yang sangat lebar). Belakangan kursi cinta dibuat untuk tempat duduk dua orang. dengan cara ini sepasang kekasih bisa duduk berdampingan.

-- Pikirkan lima atau enam nama pria (jika anda wanita) atau lima atau enam nama wanita (jika anda pria) yang ingin anda nikahi. Lalu putralah setangkai apel sambil menyebut nama tersebut satu persatu. Anda akan menikah dengan nama yang anda sebut saat tangkai tersebut lepas dari buahnya.

-- Petiklah sekuntum bungan dandelion yang tengah mengembang. Tiuplah putik-putik pada bunga tersebut, lalu hitunglah putik yang tersisa. Itu adalah jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah.

-- Jika anda memotong sebuah apel pada tengahnya dan menghitung jumlah biji di dalamnya, ini juga bisa menunjukkan jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah. (love/tutut)